Satu per satu tirai berwarna
keabu-abuan itu dibuka, membiarkan cahaya matahari yang masih berwarna pucat
menyelusup masuk ke dalam ruangan. Samar-samar tercium aroma tanah basah karena
semalaman habis diguyur air hujan. Aromanya menyisakan sensasi yang berbeda dan
begitu khas, batinku.
Tik
tok tik tok. Dentuman jarum jam terdengar seperti tetesan hujan yang menghujam
atap museum yang terbuat dari seng, berisik, namun dalam sela keberisikan itu entah
kenapa dalam hatiku terasa sangat nyaman. Aku mempunyai argumen, jika waktu
berhenti maka sama saja dengan mati, tentu aku tak menginginkan hal itu
terjadi. Di sini hingga saat ini aku harus menunggu seseorang. Iya sosok yang
selama ini ingin ku temui kembali. Aku hanya beharap dalam hati kecilku.
Pandanganku
teralih saat mendengar suara pintu terbuka. Sebuah pintu yang terbuat dari besi
dibentuk menjadi pola-pola sehingga menyerupai tralis besi yang biasanya terpasang
pada muka jendela, sebagai penutupnya digunakan fiber transparan agar sedikit terlihat
dari luar. Karena pintu sedikit berat jika dibuka akan mengeluarkan suara
‘krek’ yang nyaring akibat gesekan besi dengan lantai.
Nampaknya
ia pengunjung pertama yang datang pagi ini, seorang pria paruh baya yang usianya
sekitar 40th dan dia terlihat bukan turis lokal. “Good morning, Sir.” Sapa halus Pak Nyoman, salah satu penjaga
museum yang sudah mengabdikan dirinya di sini hampir separuh usianya. Entah
kenapa, padahal gaji kerja di sini tak seberapa. Untung saja ia hidup
sendirian, tak punya istri dan tak punya anak. Aku rasa gaji yang ia dapat dari
kerjanya cukup untuk menyambung hidupnya yang seorang diri.