Kamis, 26 Januari 2017

Who I am Inside

           Ini cerita tentang kehidupanku dan pola pikirku tentang pandangan hidup yang ada di sekitarku. Oke sebelum itu perkenalkan namaku Triantama Putri, kebanyakan teman-temanku paling suka memanggilku dengan nama singkatan Trima. Jangan ketawa jika beberapa halaman nanti namaku sering disebut dan terdengar aneh ditelinga kalian. So.. kita mulai ceritanya sekarang. Awalnya kehidupanku biasa aja, kuliah lancar, orang tua sehat sentosa, kalau ditanya soal kegiatan kampus? Hmm.. aku sendiri memang enggak peduli ikut seperti begituan. Lebih enak nongkrong bareng temen habis kelar kelas dan ngobrol ngalor-ngidul ngegunjingin orang lain. Daripada harus panas-panasan demo yang nggak jelas, ujung-ujungnya suara mahasiswa mah engga didengerin sama pihak kampus. Bagiku ngehabisin tenaga saja.
            Tapi dalam waktu tiga minggu terakhir kehidupanku jadi jungkir balik berubah 180˚. Ini akibat usaha Ayahku mengalami inflasi besar-besaran dan tak bisa bersaing di pasaran lokal. Alhasil Ayah bangkrut dan usahanya gulung tikar, Ayah stres berat, ibu jadinya suka marah-marah terus di rumah, dan aku terpaksa harus mencari kerja paruh waktu dengan gajinya yang gede. Tapi...

            “Huh gimana dong? Aku udah nyari kemana-mana tetep aja nggak ada yang nerima pekerja part time mereka maunya yang full time.” Aku menegak air es karena nggak sanggup mrmbeli tehnya.
            “Tapi kamu yakin mau kerja part time? Gimana kabarnya kuliahmu nantinya Trima? Nilai aja sering dibawah rata-rata, sering bolos kelas dan selalu ada aja orang yang mau malsuin tanda tanganmu hingga dosenpun nggak sadar mahasiswinya yang satu ini jarang hadir.” Cindy nyerocos panjang banget ditambah ngeluarin semua kebusukanku pula.
            “I..iy..iya.. kamu tuh harusnya banyak belajar Trima. Ja..ja..jang..jangan malah kelayapan nyari in si Pak Tan.” Satu temenku ini si Niken sekalinya nyaut omongannya malah nggak nyambung sama sekali. Aku hanya bisa menghela nafas sambil mengurut dada menghadapinya. Sabar.
            “Niken...!!” suaraku sedikit halus sembari menahan emosi.
            “Iya Trima.” Dia tersenyum sangat polos ditambah kedua kelopak matanya yang dikedip-kedipin kayak orang yang kelilipan debu.
            “Tadi aku sama Cindy enggak ngebahas tentang Pak Tan, tapi aku lagi nyari PART-TIME.. part time bukan Pak Tan. Tuh telinga ngebersihinnya kurang apa? Bolotmu makin parah setiap harinya.”
            “Oh part time..  maksud kamu kerja paruh waktu itu?” akhirnya ngerti juga tuh anak.
            “Ah sudahlah.. masih ada satu tempat yang direkomendasiin temanku dan aku harus ke sana sekarang. Oh iya Cind aku nitip absenin di kelasnya Bu Hen ya. Aku pergi dulu bye~” ngabisin air es hingga tetes terakhir.
            “Kalau Bu Hen tau aku bisa digantung karenamu Trim. Hei!!!” aku sudah nggak denger apapun yang dia katakan.
            “Dia tadi mau pergi kemana?” Niken masih nggak ngerti situasi.
            “Dia mau pergi nyari tempat KERJA PARUH WAKTU!” mengencangkan suara tepat di telinga kiri Niken, “sudahlah biarkan dia pergi. Ayo masuk kelas nanti telat kita.” Memberesi barang lalu dimasukkannya ke dalam tas.
            Niken mengepal tangannya lalu ditiupi berkali-kali dan diletakkan ditelinganya yang masih mendengung akibat teriakan Cindy yang sangat keras. “Dia kira aku ini budek apa? Nggak perlu teriak aku juga denger kok. Eh Cindy tunggu jangan tinggalin aku dong!!.” Pergi ngacir ninggalin kantin, mengejar Cindy dari belakang. Mereka berdua masuk kelas sedangkan Trima akhirnya sampai ditempat tujuannya.
            “Hmmm... baiklah kamu boleh kerja di sini.” Pemilik cafe mengizinkanku part time di tempatnya.
            “Waahh.. terima kasih banyak mas.” Bahagia banget rasanya ada yang mau nerimaku kerja. Serasa habis menang lottre.
            “Tapi!!.. ada hal yang perlu kamu perhatikan dulu.”
            “Apa itu mas? Aku akan mematuhinya apaun itu.” Penasaran
            “Jam berangkat enggak boleh telat.” Aku mengangguk, “Selalu berpakai rapi”, aku mengangguk lagi, “Selalu sapa pelanggan dengan ramah dan senyum”, ku praktekkan senyuman termanisku sembari menganggukkan kepala, “Tak boleh ngelakuin kesalahan saat di tempat kerja. Kalau kamu melanggar salah satunya. Maka potong gaji 50%!!”. Aku menahan kepalaku agar enggak mengangguk lagi. Gila aja ini bos, masa potong gajinya parah langsung separo sendiri, pelit banget sih nih orang pantesan badannya cungkring gitu. Gara-gara jatah makan sendiri dipangkas kali yaa. Aku bicara sendiri dalam hati.
            “Gimana setuju apa enggak?”, aku masih diam belum membari jawaban. “Ya kalau enggak mau juga tak apa-apa saya sih enggak maksa juga.”
            “Eh mas, iya iya nggak apa-apa aku setuju aja sih.” Kepaksa
            “Okee, besok kamu sudah bisa mulai kerja. Selamat ya.. “ kebingungan
            “Trima mas.” Menyebutkan nama untuk kesekian kalinya.
            “Selama ya Trima. Semoga bisa betah kerja di sini.” Berjabat tangan.
            “Ah iya mas haha..” nahan tawa hingga keluar cafe. Sepanjang jalan aku masih nggak habis pikir. Kalau aku ngelanggar aturan masa sampai potong gajinya 50% sendiri, dikira aku kerja enggak pakai tenaga apa? Yang langsung kena potongan diskon.
            “Ah sudahlah seenggaknya aku sudah dapat kerja paruh waktu. Apa yang terjadi nanti, mikirnya belakangan saja. Jalani saja dulu toh nggak ada salahnya juga. Benar positive thinking Trima.” Memotivasi diri sendiri.
Kemalanganku ternyata bertambah saat Ayahku mulai mengumumkan sudah tak sanggup bayar uang sewa kos an. Alhasil ibu kos pun mengusir diriku karena selama dua bulan terakhir menunggak bayar. Dan aku pun pindah ke kos yang lebih sempit yang tentunya biaya sewanya sangat-sangat murah. Sesuai dengan keadaan bagunannya yang jauh dari peradaban manusia dan lingkungannya sedikit kumuh. Oh Tuhan semoga aku bisa betah tinggal di sini, kalau aku pindah tiba-tiba biaya sewaku selama setahun hangus gitu aja. Sayang banget uangnya.
“Sekarang beberes dulu biar aku bisa istirahat. Yoo semangat Triantama Putri!” mulai membereskan barang di kamar kos an baru.
Baru asyik-asyiknya beberes barang hewan terbang berwarna coklat hinggap ke sana-kemari, ngeganggu banget tuh hewan. Tanganku mengambil kamus KBBI yang tebelnya hampir 20cm mendekapnya dalam genggaman. Menunggu sampai dia lenggah lalu melemparkan kamus yang tebelnya kebangetan itu ke arahnya. Seketika dia terkelepar tak berdaya di lantai. Entah pingsan atau mati.
Ku ambil dia dengan memegang antena kecilnya, “Kamu muncul di hadapan orang yang salah. Kalau cewek normal pada umumnya pasti akan teriak dan ngacir lari begitu lihat kamu datang. Dan itu enggak berlaku padaku Coco.” Bingung mau ngebuang kemana, “Ah! Dari dulu aku pingin banget ngelihat kecoa kalau lagi direbus.” Langsung ngacir keluar kamar menuju dapur, ngambil panci lalu dikasih air, dan menghidupkan kompor.
“Nah sekarang ku masukkan kamu ya, baik-baik kau jangan nakal.” menunggu dan menunggu hingga air mendidih. “Aku tinggal beresin kamar dulu lah. Masih banyak barangku yang berantakan.” Kembali ke kamar dan lupa matiin kompor yang di dalam panci masih ada bangkai kecoanya.
“AAAAAAAA!!!!! TOLONG!! TOLONG!! ADA KECOA!!”. Terdengar teriakan keras dari arah dapur.
“Kenapa? Kenapa? Dimana kecoanya,” seorang lagi datang memastikan.
Sambil nunjuk-nunjuk, “It..itu di dalam panci ada bangkai kecoaknya. Jijik banget.”
“Ulah iseng siapa sih yang naruh bangkai kecoa di panci pakai direbus segala!!.” Mendengar percakapan mereka dari kejauhan. Aku langsung mengunci pintu kamar dan pura-pura enggak tau. Toh mereka juga pasti enggak mengenaliku, kan aku baru saja pindah ke sini. Jadi bodo amat.
Keesokan harinya. Sepulang dari kampus aku, Cindy dan Niken pergi kondangan ke acara nikahannya senior. Tak enak rasanya kalau nggak datang soalnya dia sudah mengundang kita, terlebih lagi semasa ospek dulu dia termasuk senior yang menyenangkan. Yah anggap saja ini bentuk terima kasih kita dan yang paling penting bisa dapat makan gratis di kondangan. Jatah uang makan malamku bisa ku tabung buat ivestasi masa depan. Irit Trima.
Kita bertiga berangkat naik mobilnya Cindy dan perjalanan menuju luar kota memakan waktu sekitar empat jam. Sementara itu mobil pun berhenti di depan mini market terdekat, “Ka.. kalau yang kalah harus mau keluar ke sana buat beli amplop. Setuju?” Niken menjelaskan aturan main, “semuanya su.. sudah siap?” ia memandang kami bergantian.
Bebarengan, “Batu! Gunting! Kertas!.” Dua tangan gunting dan satu tangan kertas.
“Mbak ada amplop yang belinya bisa satuan?”. Mbak penjaga kasirnya malah kebingungan mendengar ucapanku. Akhirnya aku membeli dengan harga minimal dan hanya mendapatkan empat amplop polos di tangan. Tugasku kini sudah selesai, aku pun kembali ke mobil menerjang derasnya hujan. Basah? Lumayan. Ini konsekuensi yang ku dapat karena aku kalah main.
Aku masuk mobil dalam kondisi rambut yang lepek akibat kena air hujan, “Ini amplopnya.” Mereka berdua malah ketawa lihat keadaanku yang setengah basah, “tega ya kalian temannya kebasahan bukannya dibantuin ambil handuk atau apa malah diketawain.” Bete aku jadinya.
“Ha.. ha.. habisnya dari dulu kamu enggak berubah sama sekali Trim. Dari du..dulu kalau kita bertiga main batu kertas gunting tanganmu selalu ngeluarin kertas sih.” Ketawa keras
“Kita berdua sudah mulai hafal dengan kebiasaanmu itu Trima. Makanya aku sama Niken sepakat ngeluarin gunting.” Cindy menyeka air matanya karena ketawa terus dari tadi.
“Oh jadi kalian ngemanfaatin kelemahanku intinya?”. Aku mulai sedikit marah.
“Yah ma.. maafin kita berdua Trim. Ini keringkan ram..ram.. rambutmu pakai handuk.”
“Sudah ayo kita jalan sekarang biar sampai sananya enggak kemaleman.” Cindy mulai menjalankan mobilnya pergi menjauhi pelataran mini market.
Sesampainya di sana kita menghampiri sang mempelai mengucap selamat dan menyelipkan amplop ke tangan si mempelai. Dan sekarang saatnya menyantap makanan, perutku kelaparan selama perjalanan tadi. Aku bingung harus mulai makan apa.
“Oii..Trima dan kawan-kawan! Sebelah sini”, seorang teman kami sekelas ternyata juga datang. Alhasil kami pun menggerombol jadi satu, makan bareng sambil ngobrol.
Sesaat ponselku bergetar, “Sebentar ya sepertinya Ayahku telfon.” Aku izin pergi keluar mencari ruangan yang sedikit tenang dan mengangkat telfon. Tak ada percakapan yang istimewa Ayah hanya ingin tau keadaanku bagaimana dan aku pun menjelaskan semuanya apa adanya. Lalu menutup telfon, ketika aku memasukkan ponsel ke dalam tas ada sesuatu yang rasanya aneh. “Tunggu ini amplop yang seharusnya ku kasih ke seniorku. Kenapa malah masih di dalam tas? Jangan-jangan yang ku selipkan tadi amplop yang masih kosong.” Sontak aku panik, “Bego banget sih kamu Trima! Haduh apa yang harus ku lakukan?.” Ku hela nafas dalam-dalam.
“Tenang.. tenang.. tadi amplop kosongnya tidak tertera namaku. Jadi seenggaknya dia tak tau kalau itu dari aku. Benar anggap saja ini hanya khilaf.” Aku mulai bersikap biasa saja dan kembali ke dalam.
Lalu disepanjang perjalanan pulang.
“SUMPAH!!? Kamu salah ngasih amplopnya?”. Niken memasang wajah nggak percaya.
“Lalu kamu apakan amplop yang sudah terlanjur diselipkan tadi?”. Cindy pun tak kalah ingin tahunya.
“Aku biarkan saja. Lah mau bagaimana apa aku harus bilang kalau tadi salah ngasih amplop, lalu minta maaf dengan alasan bla bla? Justru itu malah membuatku ditertawakan semua orang. Dikira aku lagi latihan ngelawak di sana. Mau ditaruh dimana wajahku nanti. Hah?.” Kuhembuskan nafas sekencang-kencangnya.
Mereka berdua pun kembali tertawa terbahak-bahak membuat sepanjang pejalanan malam kami tak terasa sepi. Karena setiap mobil yang berpapasan di jalan terlihat para penumpangnya terlelap tidur. Hanya kita bertiga yang masih sehat dan ketawa-ketiwi sampai membuat perut sakit menertawakan tingkah konyol kali ini.
“Ha..ha...hasssiiih!!!”, ku tahan suara bersinku dengan suara pelan. “Ini pasti gara-gara kemarin kehujanan. Huuuuh..”. Tanganku terus saja menggosok hidung yang terasa gatal.
“Pakai saja ini.” Laki-laki yang duduk di sampingku menawarkan sapu tangannya ke arahku, responku hanya diam yang bercampur dengan kebingungan. “Tenang saja ini masih bersih belum ku pakai sama sekali.” Jelasnya lagi.
“Oh.. terima kasih.” Ku ambil sapu tangan itu darinya. Menggunakannya untuk menutupi hidung agar ingusnya tak menetes, bisa malu diriku kalau seluruh anak di kelas tau kalau ada mahasiswi yang bernama Trima ingusan di kelas sudah seperti anak SD saja. Aku gak bisa ngebayangin hal itu terjadi padaku. Pokoknya enggak akan!
Semenjak insiden saputangan itu perlahan-lahan kehidupan kampusku mulai berubah. Aku yang awalnya cuek dengan penampilan kini jadi suka berdandan dan selalu kebingunan memilih baju saat akan pergi ke kampus. Ini semua gara-gara laki-laki yang bernama Adam, dari tindakan kecilnya yang memberikan sapu tangan ke arahku. Sudah cukup membuat hatiku berdebar terpesona dengan karismanya yang baru kusadari. Padahal kita selalu satu kelas hanya saja kita jarang bicara.
Hingga tanpa kusadari dua semester barjalan dan kegiatanku di kelas hanya memperhatikan Adam seorang. Jika dilihat itu dia orangnya memang sedikit pendiam dan seorang pria yang baik. “Sepertinya aku mulai jatuh hati pada si Adam.” Aku curhat dihadapan ke dua sahabatku itu. Sepertinya mereka sudah mulai bosan karena semenjak insiden Adam memberikan sapu tanganya ke araku, aku selalu saja ngebahas tentangnya dimanapun berada topik Adam memenuhi pembicaraan diantara kami.
“So.. Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Mengungkapkan perasaanmu padanya?”, tanya Cindy dengan raut muka datarnya sembari menegak minumannya perlahan.
“Hee!!? Ka.. kamu akan menembak Adam sekarang!”, suara Niken melengking keras hampir memenuhi ruangan hingga semua orang di kantin menoleh ke arah kami bertiga.
“Huuuusssh... suaramu terlalu kencang,” akau membekap mulutnya dengan tanganku.
Tak lama lalu kulepaskan lagi, “Ya..yah maaf.” Niken memelankan suaranya.
“Aku ngga mau mengambil tindakan itu terlalu cepat. Untuk saat ini aku hanya ingin bisa lebih dekat dengan Adam dan mengetahui sosok dia seberanya. Bagiku sudah cukup. Kalian juga tau sendiri kan akhir-akhir ini aku sudah bisa ngobrol berdua sama dia, ditambah kami sering dipertemukan dalam satu kelompok. Kalau diperhatikan nampaknya dia juga punya perasaan yang sama padaku, itulah kenapa nanti kalau ada kesempatan aku mau mengajaknya jalan-jalan.” Jelasku panjang lebar sambil menebar pesona orang yang lagi kasmaran.
“Aku jadi se..se.. senang kalau lihat sahabatku bahagia. Pokoknya aku akan selalu mendukungmu Trima, semangat!!”. Niken memberiku semangat dengan gaya khasnya yang lucu.
“Huumm.. Terima kasih Niken.” Kupeluk badan sahabatku yang menggemaskan itu, “Oh iya kalian nggak melupakan janjian kita nanti malam mau nonton bareng kan?”. Hampir saja aku keluapaan karena saking asyiknya ngebahas soal si Adam untuk kesekian kalinya.
“Aku sepertinya nggak jadi pergi Trim.” Aku terdiam mendengar perkataan Cindy, “Nanti malam mendadak Mamaku minta dianterin ke dokter buat cak up kesehatan gigi palsunya. Maaf ya membatalkan janji mendadak. Kalian tetap saja nonton tanpa aku.” Tersenyum lalu menatap aku dan Niken bergantian.
“Yaaahh ngga seru dong cuma berduaan sama Trima.”
Malamnya aku bersama Niken memutuskan untuk tetap nonton, sayang sudah beli tiket kalau tak digunakan. Tapi ditengah jalannya film kami berdua memutuskan keluar dari bioskop, gara-gara perut Niken yang kena diare akut.
“Sudah tau tak tahan makan pedas kenapa kamu maksain dimakan sih!?”, sepanjang perjalanan aku menasehati sahabatku satu itu.
“Ha.. habisnya aku pingin banget nyobain makanannya. Tak tau kalau respon perutku akan se..seperti gini. Maafkan aku Trim..”, sekarang ia menyesal.
“Kamu tunggu dulu di sini sebentar akau akan belikan obat pereda diare di apotik.” Pergi mencari apotik terdekat. Untung saja sekitar lima ratus meter jalan ada apotik yang buka 24 jam. Setelah obat yang dicari sudah ku beli, bergegas aku menghampiri Niken.
Entah aku bermimpi atau bukan, di sebrang jalan sana aku melihat Cindy sedang jalan berduaan dengan pria yang wajahnya sudah tak asing lagi dimataku. Dia Adam. Penglihatanku masih sehat untuk mengenali wajah mereka kan. Diam-diam ku putuskan untuk mengikuti mereka dari belakang, “maafkan aku Niken pergi sedikit lama”, batinku. Melihat meraka berduaan membuat pikiranku melayang kemana-mana, sungguh aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Apa yang harus aku ucapkan jika bertemu mereka nantinya. Dan pertanyaan terbesar yang ada di kepalaku hanya, Apa yang sebenarnya terjadi? Apa hubungan diantara mereka berdua? Aku benar-benar tak tau.
Mereka masuk disebuah mini market, “Aku tunggu saja di luar Dam.” Cindy keluar dari mini market lebih dahulu. Ia tercenang setelah melihatku bisa berdiri tepat dihadapannya. “Tri.. Trima? Apa yang kau lakukan di sini?”, ia gelagapan sekaligus mencoba menyembunyikan kepanikannya.
“Jadi ini namanya pergi ke dokter!?”. Tanpa basa-basi aku langsung mengutarakan kekesalanku padanya.
“Dengarkan dulu penjelasanku Trima. Semua ini..” kalimatnya terhenti.
“Aku sudah melihat semuanya kau tak perlu menjelaskan alasanmu kenapa menyembunyikan hubungan kalian. Seharusnya aku bisa lebih cepat sadar dengan tanggapan dinginmu setiap kali aku menyinggung soal Adam.” Ku gigit bibir bawahku agar tak mudah menitihkan air mata. “Setidaknya kamu nggak harus merahasiakan semua ini dari sahabatmu sendiri. Aku benar-benar kecewa padamu, Cind..” membalikkan badan hendak pergi.
“Kamu memang tak pernah mau mendengarkanku kan. Kau terlalu meremehkan orang lain dan menganggap dirimu lah yang paling benar.” Mendengar kalimat itu membuatku mengurungkan nitan untuk pergi. Aku kembali menatap ke arah Cindy, “Sudah berkali-kali aku ingin cerita tentang Adam pada kalian. Tapi kamu selalu saja mengalihkan pembicaraan tentang keluargamu yang mulai tak karuan lah, kamu mengeluh tentang mencari pekerjaan paruh waktu, cerita tingkah laku konyolmu yang bahkan bagiku itu semua tak ada pentingnya bagiku. Kamu tak pernah sekalipun memberiku kesempatan untuk bicara, Trima!!.” Kedua alisnya terangkat membuat beberapa kerutan di dahinya, ia mencoba mengeluarkan semua kekesalannya.
“Memangnya kamu siapa? Tidak hanya kamu yang punya hak bicara dan memaksa orang lain mendengarkan ceritamu itu. Aku juga ingin berbagi kesedihan, kebahagiaan bahkan kekesalanku pada kalian. Kalau sudah seperti ini kejadiannya, sekarang kamu mau memarahiku? Tidak.. tidak.. Kamu sama sekali tidak punya hak untuk menyalahkanku Trima. Sebaiknya kamu ngaca dirimu sendiri, karena tindakanmu selama inilah yang membuatku harus merahasiakan semua ini darimu. Bagiku kamu adalah orang yang paling menyebalkan!!.”
Kedua bibirnya bergetaran setelah mengeluarkan semua kekesalannya padaku. Saat itu tak ada satu katapun yang terlintas dalam benakku, sungguh aku merasa tidak mengenali sahabatku Cindy dengan baik. Yang kulakukan hanya bisa diam mematung. Beberapa saat Adam keluar dari mini market dengan menenteng plastik di tangannya, “Aku sudah membeli semuanya, sekarang kita mau kemana?” pandangan Adam teralih padaku yang masih berdiam diri di hadapan kekasihnya itu.
“Oh ternyata ada Trima juga.” Cindy langsung menarik lengan Adam mengajaknya pergi.
“Aku sudah tak ada urusan di sini. Sebaiknya kita pergi sekarang.” Perkataan terakhir Cindy menunjukkan bahwa selama ini dia memendam ketidak sukaan padaku. Dan akupun tak bisa membalas semua perkataannya, yang ku lakukan hanya berdiam diri membiarakannya pergi begitu saja. Sungguh pengecut sekali diriku ini.
Sejak pertengkaranku dengan Cindy membuat persahabatan kami bertiga hancur berantakan. Niken yang tahu kejadiannya setelah kuceritakan semua kebenarannya, ia memilih untuk tidak memihak antara aku atau Cindy. Dia berlaku adil dan memilih netral. Meskipun ketika aku menyesali semua sikapku selama ini ia terus saja memberiku nasehat dan selalu berada di sampingku, dia benar-benar teman yang tak tergantikan.
Ternyata selama ini apa yang ku kira baik buat diriku sendiri, justru membuat orang lain menderita. Aku terlalu fokus dengan diriku seorang. Hal ini yang membuatku menutup mata dan telinga, tak pernah memberikan kesempatan Cindy lebih terbuka pada kami. Dan semua ucapannya malam itu membuatku tersadar, bahwa selama ini aku adalah orang yang sangat egois dan menyebalkan.
 “Who i’m inside?.” Aku harus memahami diriku sendiri sebelum aku mencoba mengerti perasaan orang lain.

-The End-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar