Ini cerita tentang
kehidupanku dan pola pikirku tentang pandangan hidup yang ada di sekitarku. Oke
sebelum itu perkenalkan namaku Triantama Putri, kebanyakan teman-temanku paling
suka memanggilku dengan nama singkatan Trima. Jangan ketawa jika beberapa
halaman nanti namaku sering disebut dan terdengar aneh ditelinga kalian. So..
kita mulai ceritanya sekarang. Awalnya kehidupanku biasa aja, kuliah lancar,
orang tua sehat sentosa, kalau ditanya soal kegiatan kampus? Hmm.. aku sendiri
memang enggak peduli ikut seperti begituan. Lebih enak nongkrong bareng temen
habis kelar kelas dan ngobrol ngalor-ngidul ngegunjingin orang lain. Daripada
harus panas-panasan demo yang nggak jelas, ujung-ujungnya suara mahasiswa mah
engga didengerin sama pihak kampus. Bagiku ngehabisin tenaga saja.
Tapi dalam waktu tiga minggu terakhir kehidupanku jadi jungkir balik berubah 180˚. Ini akibat usaha Ayahku mengalami
inflasi besar-besaran dan tak bisa bersaing di pasaran lokal. Alhasil Ayah
bangkrut dan usahanya gulung tikar, Ayah stres berat, ibu jadinya suka
marah-marah terus di rumah, dan aku terpaksa harus mencari kerja paruh waktu
dengan gajinya yang gede. Tapi...
“Huh gimana dong? Aku udah nyari
kemana-mana tetep aja nggak ada yang nerima pekerja part time mereka maunya
yang full time.” Aku menegak air es karena nggak sanggup mrmbeli tehnya.
“Tapi kamu yakin mau kerja part
time? Gimana kabarnya kuliahmu nantinya Trima? Nilai aja sering dibawah
rata-rata, sering bolos kelas dan selalu ada aja orang yang mau malsuin tanda
tanganmu hingga dosenpun nggak sadar mahasiswinya yang satu ini jarang hadir.”
Cindy nyerocos panjang banget ditambah ngeluarin semua kebusukanku pula.
“I..iy..iya.. kamu tuh harusnya
banyak belajar Trima. Ja..ja..jang..jangan malah kelayapan nyari in si Pak
Tan.” Satu temenku ini si Niken sekalinya nyaut omongannya malah nggak nyambung
sama sekali. Aku hanya bisa menghela nafas sambil mengurut dada menghadapinya.
Sabar.
“Niken...!!” suaraku sedikit halus
sembari menahan emosi.
“Iya Trima.” Dia tersenyum sangat
polos ditambah kedua kelopak matanya yang dikedip-kedipin kayak orang yang
kelilipan debu.
“Tadi aku sama Cindy enggak ngebahas
tentang Pak Tan, tapi aku lagi nyari PART-TIME.. part time bukan Pak Tan. Tuh
telinga ngebersihinnya kurang apa? Bolotmu makin parah setiap harinya.”
“Oh part time.. maksud kamu kerja paruh waktu itu?” akhirnya
ngerti juga tuh anak.
“Ah sudahlah.. masih ada satu tempat
yang direkomendasiin temanku dan aku harus ke sana sekarang. Oh iya Cind aku
nitip absenin di kelasnya Bu Hen ya. Aku pergi dulu bye~” ngabisin air es
hingga tetes terakhir.
“Kalau Bu Hen tau aku bisa digantung
karenamu Trim. Hei!!!” aku sudah nggak denger apapun yang dia katakan.
“Dia tadi mau pergi kemana?” Niken
masih nggak ngerti situasi.
“Dia mau pergi nyari tempat KERJA
PARUH WAKTU!” mengencangkan suara tepat di telinga kiri Niken, “sudahlah
biarkan dia pergi. Ayo masuk kelas nanti telat kita.” Memberesi barang lalu
dimasukkannya ke dalam tas.
Niken mengepal tangannya lalu
ditiupi berkali-kali dan diletakkan ditelinganya yang masih mendengung akibat
teriakan Cindy yang sangat keras. “Dia kira aku ini budek apa? Nggak perlu
teriak aku juga denger kok. Eh Cindy tunggu jangan tinggalin aku dong!!.” Pergi
ngacir ninggalin kantin, mengejar Cindy dari belakang. Mereka berdua masuk
kelas sedangkan Trima akhirnya sampai ditempat tujuannya.
“Hmmm... baiklah kamu boleh kerja di
sini.” Pemilik cafe mengizinkanku part time di tempatnya.
“Waahh.. terima kasih banyak mas.”
Bahagia banget rasanya ada yang mau nerimaku kerja. Serasa habis menang lottre.
“Tapi!!.. ada hal yang perlu kamu
perhatikan dulu.”
“Apa itu mas? Aku akan mematuhinya
apaun itu.” Penasaran
“Jam berangkat enggak boleh telat.”
Aku mengangguk, “Selalu berpakai rapi”, aku mengangguk lagi, “Selalu sapa
pelanggan dengan ramah dan senyum”, ku praktekkan senyuman termanisku sembari
menganggukkan kepala, “Tak boleh ngelakuin kesalahan saat di tempat kerja. Kalau
kamu melanggar salah satunya. Maka potong gaji 50%!!”. Aku menahan kepalaku
agar enggak mengangguk lagi. Gila aja ini bos, masa potong gajinya parah
langsung separo sendiri, pelit banget sih nih orang pantesan badannya cungkring
gitu. Gara-gara jatah makan sendiri dipangkas kali yaa. Aku bicara sendiri
dalam hati.
“Gimana setuju apa enggak?”, aku
masih diam belum membari jawaban. “Ya kalau enggak mau juga tak apa-apa saya
sih enggak maksa juga.”
“Eh mas, iya iya nggak apa-apa aku
setuju aja sih.” Kepaksa
“Okee, besok kamu sudah bisa mulai
kerja. Selamat ya.. “ kebingungan
“Trima mas.” Menyebutkan nama untuk
kesekian kalinya.
“Selama ya Trima. Semoga bisa betah
kerja di sini.” Berjabat tangan.
“Ah iya mas haha..” nahan tawa
hingga keluar cafe. Sepanjang jalan aku masih nggak habis pikir. Kalau aku
ngelanggar aturan masa sampai potong gajinya 50% sendiri, dikira aku kerja
enggak pakai tenaga apa? Yang langsung kena potongan diskon.
“Ah sudahlah seenggaknya aku sudah
dapat kerja paruh waktu. Apa yang terjadi nanti, mikirnya belakangan saja.
Jalani saja dulu toh nggak ada salahnya juga. Benar positive thinking Trima.”
Memotivasi diri sendiri.
Kemalanganku
ternyata bertambah saat Ayahku mulai mengumumkan sudah tak sanggup bayar uang
sewa kos an. Alhasil ibu kos pun mengusir diriku karena selama dua bulan terakhir
menunggak bayar. Dan aku pun pindah ke kos yang lebih sempit yang tentunya
biaya sewanya sangat-sangat murah. Sesuai dengan keadaan bagunannya yang jauh
dari peradaban manusia dan lingkungannya sedikit kumuh. Oh Tuhan semoga aku
bisa betah tinggal di sini, kalau aku pindah tiba-tiba biaya sewaku selama
setahun hangus gitu aja. Sayang banget uangnya.
“Sekarang
beberes dulu biar aku bisa istirahat. Yoo semangat Triantama Putri!” mulai
membereskan barang di kamar kos an baru.
Baru
asyik-asyiknya beberes barang hewan terbang berwarna coklat hinggap ke
sana-kemari, ngeganggu banget tuh hewan. Tanganku mengambil kamus KBBI yang
tebelnya hampir 20cm mendekapnya dalam genggaman. Menunggu sampai dia lenggah
lalu melemparkan kamus yang tebelnya kebangetan itu ke arahnya. Seketika dia
terkelepar tak berdaya di lantai. Entah pingsan atau mati.
Ku
ambil dia dengan memegang antena kecilnya, “Kamu muncul di hadapan orang yang
salah. Kalau cewek normal pada umumnya pasti akan teriak dan ngacir lari begitu
lihat kamu datang. Dan itu enggak berlaku padaku Coco.” Bingung mau ngebuang
kemana, “Ah! Dari dulu aku pingin banget ngelihat kecoa kalau lagi direbus.”
Langsung ngacir keluar kamar menuju dapur, ngambil panci lalu dikasih air, dan
menghidupkan kompor.
“Nah
sekarang ku masukkan kamu ya, baik-baik kau jangan nakal.” menunggu dan
menunggu hingga air mendidih. “Aku tinggal beresin kamar dulu lah. Masih banyak
barangku yang berantakan.” Kembali ke kamar dan lupa matiin kompor yang di
dalam panci masih ada bangkai kecoanya.
“AAAAAAAA!!!!!
TOLONG!! TOLONG!! ADA KECOA!!”. Terdengar teriakan keras dari arah dapur.
“Kenapa?
Kenapa? Dimana kecoanya,” seorang lagi datang memastikan.
Sambil
nunjuk-nunjuk, “It..itu di dalam panci ada bangkai kecoaknya. Jijik banget.”
“Ulah
iseng siapa sih yang naruh bangkai kecoa di panci pakai direbus segala!!.”
Mendengar percakapan mereka dari kejauhan. Aku langsung mengunci pintu kamar
dan pura-pura enggak tau. Toh mereka juga pasti enggak mengenaliku, kan aku
baru saja pindah ke sini. Jadi bodo amat.
Keesokan
harinya. Sepulang dari kampus aku, Cindy dan Niken pergi kondangan ke acara
nikahannya senior. Tak enak rasanya kalau nggak datang soalnya dia sudah
mengundang kita, terlebih lagi semasa ospek dulu dia termasuk senior yang
menyenangkan. Yah anggap saja ini bentuk terima kasih kita dan yang paling penting
bisa dapat makan gratis di kondangan. Jatah uang makan malamku bisa ku tabung
buat ivestasi masa depan. Irit Trima.
Kita
bertiga berangkat naik mobilnya Cindy dan perjalanan menuju luar kota memakan
waktu sekitar empat jam. Sementara itu mobil pun berhenti di depan mini market
terdekat, “Ka.. kalau yang kalah harus mau keluar ke sana buat beli amplop.
Setuju?” Niken menjelaskan aturan main, “semuanya su.. sudah siap?” ia
memandang kami bergantian.
Bebarengan,
“Batu! Gunting! Kertas!.” Dua tangan gunting dan satu tangan kertas.
“Mbak
ada amplop yang belinya bisa satuan?”. Mbak penjaga kasirnya malah kebingungan
mendengar ucapanku. Akhirnya aku membeli dengan harga minimal dan hanya mendapatkan
empat amplop polos di tangan. Tugasku kini sudah selesai, aku pun kembali ke
mobil menerjang derasnya hujan. Basah? Lumayan. Ini konsekuensi yang ku dapat karena
aku kalah main.
Aku
masuk mobil dalam kondisi rambut yang lepek akibat kena air hujan, “Ini
amplopnya.” Mereka berdua malah ketawa lihat keadaanku yang setengah basah,
“tega ya kalian temannya kebasahan bukannya dibantuin ambil handuk atau apa
malah diketawain.” Bete aku jadinya.
“Ha..
ha.. habisnya dari dulu kamu enggak berubah sama sekali Trim. Dari du..dulu
kalau kita bertiga main batu kertas gunting tanganmu selalu ngeluarin kertas
sih.” Ketawa keras
“Kita
berdua sudah mulai hafal dengan kebiasaanmu itu Trima. Makanya aku sama Niken
sepakat ngeluarin gunting.” Cindy menyeka air matanya karena ketawa terus dari
tadi.
“Oh
jadi kalian ngemanfaatin kelemahanku intinya?”. Aku mulai sedikit marah.
“Yah
ma.. maafin kita berdua Trim. Ini keringkan ram..ram.. rambutmu pakai handuk.”
“Sudah
ayo kita jalan sekarang biar sampai sananya enggak kemaleman.” Cindy mulai
menjalankan mobilnya pergi menjauhi pelataran mini market.
Sesampainya
di sana kita menghampiri sang mempelai mengucap selamat dan menyelipkan amplop
ke tangan si mempelai. Dan sekarang saatnya menyantap makanan, perutku
kelaparan selama perjalanan tadi. Aku bingung harus mulai makan apa.
“Oii..Trima
dan kawan-kawan! Sebelah sini”, seorang teman kami sekelas ternyata juga
datang. Alhasil kami pun menggerombol jadi satu, makan bareng sambil ngobrol.
Sesaat
ponselku bergetar, “Sebentar ya sepertinya Ayahku telfon.” Aku izin pergi
keluar mencari ruangan yang sedikit tenang dan mengangkat telfon. Tak ada
percakapan yang istimewa Ayah hanya ingin tau keadaanku bagaimana dan aku pun
menjelaskan semuanya apa adanya. Lalu menutup telfon, ketika aku memasukkan
ponsel ke dalam tas ada sesuatu yang rasanya aneh. “Tunggu ini amplop yang
seharusnya ku kasih ke seniorku. Kenapa malah masih di dalam tas? Jangan-jangan
yang ku selipkan tadi amplop yang masih kosong.” Sontak aku panik, “Bego banget
sih kamu Trima! Haduh apa yang harus ku lakukan?.” Ku hela nafas dalam-dalam.
“Tenang..
tenang.. tadi amplop kosongnya tidak tertera namaku. Jadi seenggaknya dia tak
tau kalau itu dari aku. Benar anggap saja ini hanya khilaf.” Aku mulai bersikap
biasa saja dan kembali ke dalam.
Lalu
disepanjang perjalanan pulang.
“SUMPAH!!?
Kamu salah ngasih amplopnya?”. Niken memasang wajah nggak percaya.
“Lalu
kamu apakan amplop yang sudah terlanjur diselipkan tadi?”. Cindy pun tak kalah
ingin tahunya.
“Aku
biarkan saja. Lah mau bagaimana apa aku harus bilang kalau tadi salah ngasih
amplop, lalu minta maaf dengan alasan bla bla? Justru itu malah membuatku
ditertawakan semua orang. Dikira aku lagi latihan ngelawak di sana. Mau ditaruh
dimana wajahku nanti. Hah?.” Kuhembuskan nafas sekencang-kencangnya.
Mereka
berdua pun kembali tertawa terbahak-bahak membuat sepanjang pejalanan malam
kami tak terasa sepi. Karena setiap mobil yang berpapasan di jalan terlihat
para penumpangnya terlelap tidur. Hanya kita bertiga yang masih sehat dan
ketawa-ketiwi sampai membuat perut sakit menertawakan tingkah konyol kali ini.
“Ha..ha...hasssiiih!!!”,
ku tahan suara bersinku dengan suara pelan. “Ini pasti gara-gara kemarin
kehujanan. Huuuuh..”. Tanganku terus saja menggosok hidung yang terasa gatal.
“Pakai
saja ini.” Laki-laki yang duduk di sampingku menawarkan sapu tangannya ke
arahku, responku hanya diam yang bercampur dengan kebingungan. “Tenang saja ini
masih bersih belum ku pakai sama sekali.” Jelasnya lagi.
“Oh..
terima kasih.” Ku ambil sapu tangan itu darinya. Menggunakannya untuk menutupi
hidung agar ingusnya tak menetes, bisa malu diriku kalau seluruh anak di kelas
tau kalau ada mahasiswi yang bernama Trima ingusan di kelas sudah seperti anak
SD saja. Aku gak bisa ngebayangin hal itu terjadi padaku. Pokoknya enggak akan!
Semenjak
insiden saputangan itu perlahan-lahan kehidupan kampusku mulai berubah. Aku
yang awalnya cuek dengan penampilan kini jadi suka berdandan dan selalu
kebingunan memilih baju saat akan pergi ke kampus. Ini semua gara-gara
laki-laki yang bernama Adam, dari tindakan kecilnya yang memberikan sapu tangan
ke arahku. Sudah cukup membuat hatiku berdebar terpesona dengan karismanya yang
baru kusadari. Padahal kita selalu satu kelas hanya saja kita jarang bicara.
Hingga
tanpa kusadari dua semester barjalan dan kegiatanku di kelas hanya
memperhatikan Adam seorang. Jika dilihat itu dia orangnya memang sedikit
pendiam dan seorang pria yang baik. “Sepertinya aku mulai jatuh hati pada si
Adam.” Aku curhat dihadapan ke dua sahabatku itu. Sepertinya mereka sudah mulai
bosan karena semenjak insiden Adam memberikan sapu tanganya ke araku, aku
selalu saja ngebahas tentangnya dimanapun berada topik Adam memenuhi
pembicaraan diantara kami.
“So..
Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Mengungkapkan perasaanmu padanya?”, tanya
Cindy dengan raut muka datarnya sembari menegak minumannya perlahan.
“Hee!!?
Ka.. kamu akan menembak Adam sekarang!”, suara Niken melengking keras hampir memenuhi
ruangan hingga semua orang di kantin menoleh ke arah kami bertiga.
“Huuuusssh...
suaramu terlalu kencang,” akau membekap mulutnya dengan tanganku.
Tak
lama lalu kulepaskan lagi, “Ya..yah maaf.” Niken memelankan suaranya.
“Aku
ngga mau mengambil tindakan itu terlalu cepat. Untuk saat ini aku hanya ingin
bisa lebih dekat dengan Adam dan mengetahui sosok dia seberanya. Bagiku sudah
cukup. Kalian juga tau sendiri kan akhir-akhir ini aku sudah bisa ngobrol
berdua sama dia, ditambah kami sering dipertemukan dalam satu kelompok. Kalau
diperhatikan nampaknya dia juga punya perasaan yang sama padaku, itulah kenapa
nanti kalau ada kesempatan aku mau mengajaknya jalan-jalan.” Jelasku panjang
lebar sambil menebar pesona orang yang lagi kasmaran.
“Aku
jadi se..se.. senang kalau lihat sahabatku bahagia. Pokoknya aku akan selalu
mendukungmu Trima, semangat!!”. Niken memberiku semangat dengan gaya khasnya
yang lucu.
“Huumm..
Terima kasih Niken.” Kupeluk badan sahabatku yang menggemaskan itu, “Oh iya
kalian nggak melupakan janjian kita nanti malam mau nonton bareng kan?”. Hampir
saja aku keluapaan karena saking asyiknya ngebahas soal si Adam untuk kesekian
kalinya.
“Aku
sepertinya nggak jadi pergi Trim.” Aku terdiam mendengar perkataan Cindy, “Nanti
malam mendadak Mamaku minta dianterin ke dokter buat cak up kesehatan gigi
palsunya. Maaf ya membatalkan janji mendadak. Kalian tetap saja nonton tanpa
aku.” Tersenyum lalu menatap aku dan Niken bergantian.
“Yaaahh
ngga seru dong cuma berduaan sama Trima.”
Malamnya
aku bersama Niken memutuskan untuk tetap nonton, sayang sudah beli tiket kalau
tak digunakan. Tapi ditengah jalannya film kami berdua memutuskan keluar dari
bioskop, gara-gara perut Niken yang kena diare
akut.
“Sudah
tau tak tahan makan pedas kenapa kamu maksain dimakan sih!?”, sepanjang
perjalanan aku menasehati sahabatku satu itu.
“Ha..
habisnya aku pingin banget nyobain makanannya. Tak tau kalau respon perutku
akan se..seperti gini. Maafkan aku Trim..”, sekarang ia menyesal.
“Kamu
tunggu dulu di sini sebentar akau akan belikan obat pereda diare di apotik.”
Pergi mencari apotik terdekat. Untung saja sekitar lima ratus meter jalan ada
apotik yang buka 24 jam. Setelah obat yang dicari sudah ku beli, bergegas aku
menghampiri Niken.
Entah
aku bermimpi atau bukan, di sebrang jalan sana aku melihat Cindy sedang jalan
berduaan dengan pria yang wajahnya sudah tak asing lagi dimataku. Dia Adam.
Penglihatanku masih sehat untuk mengenali wajah mereka kan. Diam-diam ku
putuskan untuk mengikuti mereka dari belakang, “maafkan aku Niken pergi sedikit
lama”, batinku. Melihat meraka berduaan membuat pikiranku melayang kemana-mana,
sungguh aku tak tau apa yang harus ku lakukan. Apa yang harus aku ucapkan jika
bertemu mereka nantinya. Dan pertanyaan terbesar yang ada di kepalaku hanya,
Apa yang sebenarnya terjadi? Apa hubungan diantara mereka berdua? Aku
benar-benar tak tau.
Mereka
masuk disebuah mini market, “Aku tunggu saja di luar Dam.” Cindy keluar dari
mini market lebih dahulu. Ia tercenang setelah melihatku bisa berdiri tepat
dihadapannya. “Tri.. Trima? Apa yang kau lakukan di sini?”, ia gelagapan
sekaligus mencoba menyembunyikan kepanikannya.
“Jadi
ini namanya pergi ke dokter!?”. Tanpa basa-basi aku langsung mengutarakan
kekesalanku padanya.
“Dengarkan
dulu penjelasanku Trima. Semua ini..” kalimatnya terhenti.
“Aku
sudah melihat semuanya kau tak perlu menjelaskan alasanmu kenapa menyembunyikan
hubungan kalian. Seharusnya aku bisa lebih cepat sadar dengan tanggapan
dinginmu setiap kali aku menyinggung soal Adam.” Ku gigit bibir bawahku agar
tak mudah menitihkan air mata. “Setidaknya kamu nggak harus merahasiakan semua
ini dari sahabatmu sendiri. Aku benar-benar kecewa padamu, Cind..” membalikkan
badan hendak pergi.
“Kamu
memang tak pernah mau mendengarkanku kan. Kau terlalu meremehkan orang lain dan
menganggap dirimu lah yang paling benar.” Mendengar kalimat itu membuatku
mengurungkan nitan untuk pergi. Aku kembali menatap ke arah Cindy, “Sudah
berkali-kali aku ingin cerita tentang Adam pada kalian. Tapi kamu selalu saja
mengalihkan pembicaraan tentang keluargamu yang mulai tak karuan lah, kamu
mengeluh tentang mencari pekerjaan paruh waktu, cerita tingkah laku konyolmu
yang bahkan bagiku itu semua tak ada pentingnya bagiku. Kamu tak pernah
sekalipun memberiku kesempatan untuk bicara, Trima!!.” Kedua alisnya terangkat
membuat beberapa kerutan di dahinya, ia mencoba mengeluarkan semua
kekesalannya.
“Memangnya
kamu siapa? Tidak hanya kamu yang punya hak bicara dan memaksa orang lain
mendengarkan ceritamu itu. Aku juga ingin berbagi kesedihan, kebahagiaan bahkan
kekesalanku pada kalian. Kalau sudah seperti ini kejadiannya, sekarang kamu mau
memarahiku? Tidak.. tidak.. Kamu sama sekali tidak punya hak untuk
menyalahkanku Trima. Sebaiknya kamu ngaca dirimu sendiri, karena tindakanmu
selama inilah yang membuatku harus merahasiakan semua ini darimu. Bagiku kamu
adalah orang yang paling menyebalkan!!.”
Kedua
bibirnya bergetaran setelah mengeluarkan semua kekesalannya padaku. Saat itu tak
ada satu katapun yang terlintas dalam benakku, sungguh aku merasa tidak mengenali
sahabatku Cindy dengan baik. Yang kulakukan hanya bisa diam mematung. Beberapa
saat Adam keluar dari mini market dengan menenteng plastik di tangannya, “Aku
sudah membeli semuanya, sekarang kita mau kemana?” pandangan Adam teralih
padaku yang masih berdiam diri di hadapan kekasihnya itu.
“Oh
ternyata ada Trima juga.” Cindy langsung menarik lengan Adam mengajaknya pergi.
“Aku
sudah tak ada urusan di sini. Sebaiknya kita pergi sekarang.” Perkataan
terakhir Cindy menunjukkan bahwa selama ini dia memendam ketidak sukaan padaku.
Dan akupun tak bisa membalas semua perkataannya, yang ku lakukan hanya berdiam
diri membiarakannya pergi begitu saja. Sungguh pengecut sekali diriku ini.
Sejak
pertengkaranku dengan Cindy membuat persahabatan kami bertiga hancur berantakan.
Niken yang tahu kejadiannya setelah kuceritakan semua kebenarannya, ia memilih
untuk tidak memihak antara aku atau Cindy. Dia berlaku adil dan memilih netral.
Meskipun ketika aku menyesali semua sikapku selama ini ia terus saja memberiku
nasehat dan selalu berada di sampingku, dia benar-benar teman yang tak
tergantikan.
Ternyata
selama ini apa yang ku kira baik buat diriku sendiri, justru membuat orang lain
menderita. Aku terlalu fokus dengan diriku seorang. Hal ini yang membuatku
menutup mata dan telinga, tak pernah memberikan kesempatan Cindy lebih terbuka
pada kami. Dan semua ucapannya malam itu membuatku tersadar, bahwa selama ini aku
adalah orang yang sangat egois dan menyebalkan.
“Who i’m inside?.” Aku harus memahami diriku
sendiri sebelum aku mencoba mengerti perasaan orang lain.
-The End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar