Bandung, Mei 2017
“An... ada kiriman paket untukmu nih.”
Panggil Mama dari lantai bawah. Sedangkan kamarku letaknya di lantai dua.
“Paket apa Ma? Dari siapa?” balasku
setengah berteriak.
“Tak ada nama pengirimnya, An.”
Tak lama daun pintu kamarku terbuka
setengah, aku keluar, berjalan mendekati Mama yang masih berdiri di dekat
tangga sambil membolak-balik sebuah amplop coklat di tangannya.
Mama beralih memandangku yang sudah
berdiri di hadapannya. “Ini. Mama sudah periksa nama pengirimnya tapi nggak
ada. Sebaiknya segera kamu buka, semoga bukan sesuatu yang mengancam, An.” Kata
Mama sambil menyerahkan amplop coklat tipis seukuran kertas A5 ke tanganku.
“Mama bukannya paranoid. Tapi ini namanya
antisipasi—”.
“Aku akan membukanya di kamar aja,
Ma”, potongku dengan cepat. Aku tau Mama juga penasaran dengan isi si coklat,
tapi apalah daya Mama kembali dengan rutinitasnya di dapur dan aku kembali
naik, masuk ke kamar.
Di sebuah kursi kayu depan meja
belajar, ku pandangi amplop dengan torehan simbol tunas oranye-hijau yang khas.
Tunas tersebut adalah logo Indonesia Mengajar. Tanpa ragu lagi, ku buka amplop
itu dengan hati-hati. Berharap isinya akan membawaku ke tempat yang baru dan
pengalaman baru.
Hingga ku temukan selembar foto
ukuran 5R. Memperlihatkan wajah seorang laki-laki berkulit gelap, rambutnya
terpotong cepak. Laki-laki itu sedang mengajar di sebuah kelas sederhana
berlatarkan alam terbuka. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi gingsulnya
sebelah kiri yang tertangkap kamera dengan jelas. Aku mengenal orang ini. Di balik
foto terdapat sebuah pesan singkat, bertuliskan tangan :
Bumi
yang kamu cari kini berada di Konawe. Lokasi lengkapnya sudah ku kirim ke
e-mailmu. Aku juga menyertakan satu tiket penerbangan ke Sulawesi untukmu,
tolong gunakan kesempatan ini sebaik mungkin, Ana.
-
Karang –
Lalu ku pandangi sebuah tiket yang ditinggalkan Karang
untukku. Tiket menuju ke Sulawesi Tenggara dengan jadwal penerbangan dua hari
lagi.
Semeru, April 2006
Sebelas tahun lalu, Anakalia Putri bertemu
dengan Asta Batubara saat mereka berdua sama-sama mengikuti kegiatan pendakian
masal yang berlokasi di gunung Semeru. Kegiatan ini diadakan untuk memperingati
Hari Bumi yang jatuh tepat pada tanggal 22 April. Diketinggian 3.676 meter dari
pemukaan laut itulah mereka bertemu untuk pertama kalinya, di sana mereka saling
memperkenalkan diri masing-masing. Lengkap dengan makna nama. Anakalia yang
berarti Manusia, sedangkan Asta dalam bahasa sunda yang berarti Bumi.
Karena keunikan itu tanpa sadar
hubungan pertemanan mereka berlanjut hingga tahun ajaran berganti. Hubungan
berstatus sahabat. Awalnya, Ana berfikir kalau Bara adalah sosok orang yang susah
bergaul dengan orang lain. Pasalnya sikap Bara terlihat dingin, selalu jutek
dan ketus banget kalau lagi ngomong. Tapi, berkat sifat cueknya ia mampu
meredam segala lontaran tajam yang meluncur bebas dari mulut sahabatnya itu.
Sedangkan menurut Bara, perempuan
dengan nama panggilan Ana adalah sosok paling feminim sekaligus orang paling
keras kepala yang pernah ia temui. Sebelumnya tak pernah ada seorang pun, terutama
kaum perempuan yang akan bertahan lama berada di dekatnya. Terlebih lagi jika
mereka tahu obsesi Bara dengan alam. Dapat dipastikan Bara akan mengajak lawan
bicaranya ngobrol panjang lebar tentang tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga
gejala-gejala alam yang baginya seorang menjadi misteri, tak lama kemudian lawan
bicaranya yang mulai bosan perlahan mundur teratur dan pergi tanpa menolehkan
kepala.
Tapi
beda cerita saat dirinya bertemu dengan Anakalia. Gadis itu selalu antusias dan
sesekali menimpali argumen ketika ngobrol semalam suntuk ngomongin kehidupan
alam. Untuk sebagian orang yang mengira topik pembicaran Bara itu ngebosenin,
namun bagi Ana itu sangat menarik dan ia pun mendukung penuh segala pemikiran pria
yang baru saja sehari ia kenal.
Pagi
dini hari di atas puncak Mahameru.
Seperti
biasa Bara kembali berkelekar tentang konsep kehidupan. “Kamu tahu Bumi yang
kita tinggali ini hidup. Hanya saja kita nggak sadar. Begitu juga tumbuhan,
mereka sama seperti kita. Manusia. Malam hari tumbuhan menghirup oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida, bedanya siang hari tumbuhan justru memproduksi
oksigen untuk dinikmati makhluk lain, sedangkan manusia enggak.” Matanya
mengetip-ngetip, saking semangatnya bercerita.
“Sedangkan
manusia yang serakah, menjarah seluruh oksigen di muka Bumi ini”. Tambah Ana
sama antusiasnya.
“Tepat
sekali,” sambar Bara dengan cepat. “Dan kamu tahu hewan juga sama seperti kita.
Mereka butuh makan untuk melangsungkan hidup, bereproduksi agar mendapatkan
keturunan, sama-sama bernafas pakai oksigen, lalu ketika mati tubuh hewan
terurai kembali menjadi tanah. Menurutmu, apa yang membedakan hewan dengan
manusia?”. Tanya Bara.
Sejenak
Ana bergumam pelan, mengalihkan pandangannya ke langit. “Hewan tidak pernah mendewakan
uang”. Celetuk Ana sambil memandang wajah Bara yang terkejut mendengar
jawabannya.
Seketika
mereka tertawa terpingkal-pingkal. Menyedot seluruh perhatian orang-orang di
sekitar puncak. Dan mereka nggak peduli sama sekali. Hanya satu hal yang
menghentikan tawa mereka sejenak, yakni datangnya akan fajar yang tinggal hitungan
beberapa menit lagi.
Ana
mempersiapkan perlengkapan kameranya, ia tidak mau kehilangan momen indah yang
kejadiaanya hanya sesaat. Yakni pergantian langit fajar ungu-kebiruan yang perlahan
berubah menjadi jingga-kemerahan. Mengabadikan semua itu dalam lensa kameranya,
dan hasilnya nanti akan diikutkan lomba yang mengusung tema “The Beautiful Sunrise”. Dengan
iming-iming hadiah beasiswa belajar fotografi selama dua tahun di Jerman. Awalnya,
alasan pribadi ini yang telah membawanya ikut dalam kegiatan pendakian masal di
Semeru. Tak ada yang lain.
Jakarta, Januari 2007
Selang
satu tahun semenjak itu, Ana menerima kiriman surat dari penyelenggara lomba “The Beautiful Sunrise”. Seketika itu
juga Ana langsung pergi menemui sahabatnya Bara, ia memberitahu kalau foto
langit fajarnya di Mahameru yang diikutkan dalam lomba satu tahun silam
ternyata menang. Dan, Ana mempunyai kesempatan terbang ke Jerman untuk
mengenyam pendidikan fotografi selama dua tahun di sana.
Mendengarnya, Bara tak tahu harus
mengucapkan selamat dan bahagia atas pencapaian sahabatnya atau malah bersedih
hati. Hanya lontaran “oh” dengan mulut membulat yang akhirnya ia berikan pada
Ana. Terlalu sulit mengartikan perasaan Bara kala itu, yang pasti sebentar lagi
ia akan kehilangan sosok manusia bernama Anakalia Putri.
Demi melepas kepergian sahabatnya,
Bara menyempatkan waktunya untuk mengantar Ana ke bandara Soekarno-Hatta. Meskipun
berat rasanya ia melihat kepergian Ana. Tapi di lain sisi ia juga tak bisa
berbuat apa-apa. Bara hanya terdiam.
“Belum juga berangkat, kenapa tuh
muka udah sedih duluan”. Canda Ana di depan Bara yang terlihat melamun.
“Siapa yang sedih, sih?” elak Bara,
menyamarkan semburat merah di wajahnya.
“Ya’elah.. masih aja bohong. Ngaku
aja kamu kesepian kan kalau gak ada aku?”.
Iya
aku bakal kesepian banget, An. Kalimat itu tersangkut di tenggorokan Bara,
tak mungkin ia berterus terang mengatakan kejujuran hatinya di depan Ana
sekarang. Ini belum saatnya, pikir
Bara.
“Kok diem, sih.” Ana menyengol bahu
Bara, “dari dulu kamu tuh nggak bakat ngebohong, tauk.”
“Sok tau, kamu”.
Ana mengangkat kedua bahunya sambil
tersenyum sumringah. “Eh Bar, dulu waktu di puncak Mahameru kamu masih ingat
ada satu pertanyaanku yang belum terjawab.”
Bara menggeleng. Tak ingat.
“Pikun amat sih jadi orang,” Ana
berdecak lidah. “Itu lho.. kenapa orangtuamu memberi nama Asta padamu yang
berarti Bumi?”. Ana mengulangi pertanyaannya.
“Oh.. aku kirain apa’an.” Bara menghela
nafas lega. Terlihat ia tersenyum simpul, “aku nggak bisa kasih jawabannya
sekarang. Selesaikan urusanmu di Jerman, setelah itu segera pulang ke
Indonesia, dan temui aku lagi. Saat itu aku akan memberimu jawaban yang kamu
inginkan.”
“Hah? Kok gitu sih? Itu curang
namanya—”. Ana merengut menahan kesal. Tapi Bara malah tertawa penuh
kemenangan.
Konawe, Mei 2017
Setelah beberapa jam aku habiskan waktu
di atas kerangka besi terbang yang mengambang di langit. Kini aku mengijakan
kaki di tanah Konawe, Sulawesi Tenggara. Seperti petunjuk yang sudah diberikan
Karang sebelumnya, bergegas aku mulai berangkat menuju kecamatan Latoma tempat
dimana makhluk Bumi itu berada.
“Bara!”.
Dengan cepat kepala itu memutar,
matanya menatap lurus ke arahku. Mata yang akan selalu aku kenali. “Kamu—”, meletakkan
kembali buku-buku yang ada dipelukannya ke atas meja. Tampaknya ia baru saja
menyelesaikan kegiatan mengajar. Langkah kakinya lebar, berjalan ke arahku. “Apa
yang kamu lakukan di sini, An?”. Tanya Bara yang terkejut melihatku seperti
sosok penampakan.
“Masih tanya lagi. Aku ke sini
nyariin kamu, tauk!”. Jawabku sebal.
Sore itu, kami habiskan waktu berdua
di pinggiran pantai. Penantiannya dan pencarianku selama sepuluh tahun berakhir
di satu tempat, yaitu pertemuan. Terlalu banyak cerita yang harus kami bagi
dalam satu hari ini. Hingga pada akhirnya dikesempatan saat ini aku pun
mengeluarkan semua umpatan amarah padanya berkali-kali hingga mulut terasa
ngilu, dan Bara hanya mentertawai kebodohanku demi mencarinya hingga ke pelosok
Indonesia.
Tau
gini mending aku nggak usah mati-matian nyarian dia, batinku.
Dia berhenti tertawa. “Aku akan
menjawab pertanyaanmu sekarang”, Bara memandang ke arahku penuh dengan keseriusan.
“Pertama, Ayahku memberikan nama Asta yang berarti Bumi, agar aku menjadi
manusia yang tidak sombong di Bumi ini. Selain itu Ayah juga pernah bilang
bahwa pasangan komplementer untuk Asta adalah— Anakalia. Itu dirimu, An.”
Seketika aku terdiam.
“Kamu adalah Manusia yang dilahirkan
untuk hidup bersama Bumi, aku menyakini itu sejak pertemuan pertama kita di
puncak Mahameru, sebelas tahun silam. Alasanku kenapa dulu tak langsung
menjawab pertanyaanmu itu, agar kamu selalu mencariku demi sebuah jawaban dan
kenyataan bahwa hingga saat ini kamu masih menjadi Manusia teristimewa di
mataku, An. Dan untuk sebuah alasan sederhana, aku ingin bertemu denganmu
lagi.” Sorot matanya terlihat meneduhkan, garis-garis dingin diwajahnya mulai memudar.
Tangannya yang besar dan kokoh membungkus jemariku. Hangat.
Tanpa ku sadari sebutir cairan bening
mengaliri pipiku. Sepanjang ingatanku, inilah momen terindah yang pernah
kurasakan bersama dengan Bara. [*]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar