Kamis, 20 Juli 2017

BUMI DAN MANUSIA

Bandung, Mei 2017
            “An... ada kiriman paket untukmu nih.” Panggil Mama dari lantai bawah. Sedangkan kamarku letaknya di lantai dua.
            “Paket apa Ma? Dari siapa?” balasku setengah berteriak.
            “Tak ada nama pengirimnya, An.”
            Tak lama daun pintu kamarku terbuka setengah, aku keluar, berjalan mendekati Mama yang masih berdiri di dekat tangga sambil membolak-balik sebuah amplop coklat di tangannya.
            Mama beralih memandangku yang sudah berdiri di hadapannya. “Ini. Mama sudah periksa nama pengirimnya tapi nggak ada. Sebaiknya segera kamu buka, semoga bukan sesuatu yang mengancam, An.” Kata Mama sambil menyerahkan amplop coklat tipis seukuran kertas A5 ke tanganku.
  
          “Ah Mama paranoid banget, sih.” Jawabku santai.
          “Mama bukannya paranoid. Tapi ini namanya antisipasi—”.
      “Aku akan membukanya di kamar aja, Ma”, potongku dengan cepat. Aku tau Mama juga penasaran dengan isi si coklat, tapi apalah daya Mama kembali dengan rutinitasnya di dapur dan aku kembali naik, masuk ke kamar.
      Di sebuah kursi kayu depan meja belajar, ku pandangi amplop dengan torehan simbol tunas oranye-hijau yang khas. Tunas tersebut adalah logo Indonesia Mengajar. Tanpa ragu lagi, ku buka amplop itu dengan hati-hati. Berharap isinya akan membawaku ke tempat yang baru dan pengalaman baru.
         Hingga ku temukan selembar foto ukuran 5R. Memperlihatkan wajah seorang laki-laki berkulit gelap, rambutnya terpotong cepak. Laki-laki itu sedang mengajar di sebuah kelas sederhana berlatarkan alam terbuka. Dia tersenyum lebar, memperlihatkan gigi gingsulnya sebelah kiri yang tertangkap kamera dengan jelas. Aku mengenal orang ini. Di balik foto terdapat sebuah pesan singkat, bertuliskan tangan :
Bumi yang kamu cari kini berada di Konawe. Lokasi lengkapnya sudah ku kirim ke e-mailmu. Aku juga menyertakan satu tiket penerbangan ke Sulawesi untukmu, tolong gunakan kesempatan ini sebaik mungkin, Ana.
- Karang
            Lalu ku pandangi sebuah tiket yang ditinggalkan Karang untukku. Tiket menuju ke Sulawesi Tenggara dengan jadwal penerbangan dua hari lagi.  

Semeru, April 2006
            Sebelas tahun lalu, Anakalia Putri bertemu dengan Asta Batubara saat mereka berdua sama-sama mengikuti kegiatan pendakian masal yang berlokasi di gunung Semeru. Kegiatan ini diadakan untuk memperingati Hari Bumi yang jatuh tepat pada tanggal 22 April. Diketinggian 3.676 meter dari pemukaan laut itulah mereka bertemu untuk pertama kalinya, di sana mereka saling memperkenalkan diri masing-masing. Lengkap dengan makna nama. Anakalia yang berarti Manusia, sedangkan Asta dalam bahasa sunda yang berarti Bumi.
            Karena keunikan itu tanpa sadar hubungan pertemanan mereka berlanjut hingga tahun ajaran berganti. Hubungan berstatus sahabat. Awalnya, Ana berfikir kalau Bara adalah sosok orang yang susah bergaul dengan orang lain. Pasalnya sikap Bara terlihat dingin, selalu jutek dan ketus banget kalau lagi ngomong. Tapi, berkat sifat cueknya ia mampu meredam segala lontaran tajam yang meluncur bebas dari mulut sahabatnya itu.
            Sedangkan menurut Bara, perempuan dengan nama panggilan Ana adalah sosok paling feminim sekaligus orang paling keras kepala yang pernah ia temui. Sebelumnya tak pernah ada seorang pun, terutama kaum perempuan yang akan bertahan lama berada di dekatnya. Terlebih lagi jika mereka tahu obsesi Bara dengan alam. Dapat dipastikan Bara akan mengajak lawan bicaranya ngobrol panjang lebar tentang tumbuh-tumbuhan, hewan, hingga gejala-gejala alam yang baginya seorang menjadi misteri, tak lama kemudian lawan bicaranya yang mulai bosan perlahan mundur teratur dan pergi tanpa menolehkan kepala.
Tapi beda cerita saat dirinya bertemu dengan Anakalia. Gadis itu selalu antusias dan sesekali menimpali argumen ketika ngobrol semalam suntuk ngomongin kehidupan alam. Untuk sebagian orang yang mengira topik pembicaran Bara itu ngebosenin, namun bagi Ana itu sangat menarik dan ia pun mendukung penuh segala pemikiran pria yang baru saja sehari ia kenal.
Pagi dini hari di atas puncak Mahameru.
Seperti biasa Bara kembali berkelekar tentang konsep kehidupan. “Kamu tahu Bumi yang kita tinggali ini hidup. Hanya saja kita nggak sadar. Begitu juga tumbuhan, mereka sama seperti kita. Manusia. Malam hari tumbuhan menghirup oksigen dan mengeluarkan karbondioksida, bedanya siang hari tumbuhan justru memproduksi oksigen untuk dinikmati makhluk lain, sedangkan manusia enggak.” Matanya mengetip-ngetip, saking semangatnya bercerita.
“Sedangkan manusia yang serakah, menjarah seluruh oksigen di muka Bumi ini”. Tambah Ana sama antusiasnya.
“Tepat sekali,” sambar Bara dengan cepat. “Dan kamu tahu hewan juga sama seperti kita. Mereka butuh makan untuk melangsungkan hidup, bereproduksi agar mendapatkan keturunan, sama-sama bernafas pakai oksigen, lalu ketika mati tubuh hewan terurai kembali menjadi tanah. Menurutmu, apa yang membedakan hewan dengan manusia?”. Tanya Bara.
Sejenak Ana bergumam pelan, mengalihkan pandangannya ke langit. “Hewan tidak pernah mendewakan uang”. Celetuk Ana sambil memandang wajah Bara yang terkejut mendengar jawabannya.
Seketika mereka tertawa terpingkal-pingkal. Menyedot seluruh perhatian orang-orang di sekitar puncak. Dan mereka nggak peduli sama sekali. Hanya satu hal yang menghentikan tawa mereka sejenak, yakni datangnya akan fajar yang tinggal hitungan beberapa menit lagi.
Ana mempersiapkan perlengkapan kameranya, ia tidak mau kehilangan momen indah yang kejadiaanya hanya sesaat. Yakni pergantian langit fajar ungu-kebiruan yang perlahan berubah menjadi jingga-kemerahan. Mengabadikan semua itu dalam lensa kameranya, dan hasilnya nanti akan diikutkan lomba yang mengusung tema “The Beautiful Sunrise”. Dengan iming-iming hadiah beasiswa belajar fotografi selama dua tahun di Jerman. Awalnya, alasan pribadi ini yang telah membawanya ikut dalam kegiatan pendakian masal di Semeru. Tak ada yang lain.
Jakarta, Januari 2007
Selang satu tahun semenjak itu, Ana menerima kiriman surat dari penyelenggara lomba “The Beautiful Sunrise”. Seketika itu juga Ana langsung pergi menemui sahabatnya Bara, ia memberitahu kalau foto langit fajarnya di Mahameru yang diikutkan dalam lomba satu tahun silam ternyata menang. Dan, Ana mempunyai kesempatan terbang ke Jerman untuk mengenyam pendidikan fotografi selama dua tahun di sana.
            Mendengarnya, Bara tak tahu harus mengucapkan selamat dan bahagia atas pencapaian sahabatnya atau malah bersedih hati. Hanya lontaran “oh” dengan mulut membulat yang akhirnya ia berikan pada Ana. Terlalu sulit mengartikan perasaan Bara kala itu, yang pasti sebentar lagi ia akan kehilangan sosok manusia bernama Anakalia Putri.
            Demi melepas kepergian sahabatnya, Bara menyempatkan waktunya untuk mengantar Ana ke bandara Soekarno-Hatta. Meskipun berat rasanya ia melihat kepergian Ana. Tapi di lain sisi ia juga tak bisa berbuat apa-apa. Bara hanya terdiam.
            “Belum juga berangkat, kenapa tuh muka udah sedih duluan”. Canda Ana di depan Bara yang terlihat melamun.
            “Siapa yang sedih, sih?” elak Bara, menyamarkan semburat merah di wajahnya.
            “Ya’elah.. masih aja bohong. Ngaku aja kamu kesepian kan kalau gak ada aku?”.
            Iya aku bakal kesepian banget, An. Kalimat itu tersangkut di tenggorokan Bara, tak mungkin ia berterus terang mengatakan kejujuran hatinya di depan Ana sekarang. Ini belum saatnya, pikir Bara.
            “Kok diem, sih.” Ana menyengol bahu Bara, “dari dulu kamu tuh nggak bakat ngebohong, tauk.”
            “Sok tau, kamu”.
            Ana mengangkat kedua bahunya sambil tersenyum sumringah. “Eh Bar, dulu waktu di puncak Mahameru kamu masih ingat ada satu pertanyaanku yang belum terjawab.”
            Bara menggeleng. Tak ingat.
            “Pikun amat sih jadi orang,” Ana berdecak lidah. “Itu lho.. kenapa orangtuamu memberi nama Asta padamu yang berarti Bumi?”. Ana mengulangi pertanyaannya.
            “Oh.. aku kirain apa’an.” Bara menghela nafas lega. Terlihat ia tersenyum simpul, “aku nggak bisa kasih jawabannya sekarang. Selesaikan urusanmu di Jerman, setelah itu segera pulang ke Indonesia, dan temui aku lagi. Saat itu aku akan memberimu jawaban yang kamu inginkan.”
            “Hah? Kok gitu sih? Itu curang namanya—”. Ana merengut menahan kesal. Tapi Bara malah tertawa penuh kemenangan.
Konawe, Mei 2017
            Setelah beberapa jam aku habiskan waktu di atas kerangka besi terbang yang mengambang di langit. Kini aku mengijakan kaki di tanah Konawe, Sulawesi Tenggara. Seperti petunjuk yang sudah diberikan Karang sebelumnya, bergegas aku mulai berangkat menuju kecamatan Latoma tempat dimana makhluk Bumi itu berada.
            “Bara!”.
            Dengan cepat kepala itu memutar, matanya menatap lurus ke arahku. Mata yang akan selalu aku kenali. “Kamu—”, meletakkan kembali buku-buku yang ada dipelukannya ke atas meja. Tampaknya ia baru saja menyelesaikan kegiatan mengajar. Langkah kakinya lebar, berjalan ke arahku. “Apa yang kamu lakukan di sini, An?”. Tanya Bara yang terkejut melihatku seperti sosok penampakan.
            “Masih tanya lagi. Aku ke sini nyariin kamu, tauk!”. Jawabku sebal.
            Sore itu, kami habiskan waktu berdua di pinggiran pantai. Penantiannya dan pencarianku selama sepuluh tahun berakhir di satu tempat, yaitu pertemuan. Terlalu banyak cerita yang harus kami bagi dalam satu hari ini. Hingga pada akhirnya dikesempatan saat ini aku pun mengeluarkan semua umpatan amarah padanya berkali-kali hingga mulut terasa ngilu, dan Bara hanya mentertawai kebodohanku demi mencarinya hingga ke pelosok Indonesia.
            Tau gini mending aku nggak usah mati-matian nyarian dia, batinku.
            Dia berhenti tertawa. “Aku akan menjawab pertanyaanmu sekarang”, Bara memandang ke arahku penuh dengan keseriusan. “Pertama, Ayahku memberikan nama Asta yang berarti Bumi, agar aku menjadi manusia yang tidak sombong di Bumi ini. Selain itu Ayah juga pernah bilang bahwa pasangan komplementer untuk Asta adalah— Anakalia. Itu dirimu, An.”
            Seketika aku terdiam.
            “Kamu adalah Manusia yang dilahirkan untuk hidup bersama Bumi, aku menyakini itu sejak pertemuan pertama kita di puncak Mahameru, sebelas tahun silam. Alasanku kenapa dulu tak langsung menjawab pertanyaanmu itu, agar kamu selalu mencariku demi sebuah jawaban dan kenyataan bahwa hingga saat ini kamu masih menjadi Manusia teristimewa di mataku, An. Dan untuk sebuah alasan sederhana, aku ingin bertemu denganmu lagi.” Sorot matanya terlihat meneduhkan, garis-garis dingin diwajahnya mulai memudar. Tangannya yang besar dan kokoh membungkus jemariku. Hangat.

            Tanpa ku sadari sebutir cairan bening mengaliri pipiku. Sepanjang ingatanku, inilah momen terindah yang pernah kurasakan bersama dengan Bara. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar