Rabu, 10 Mei 2017

TOPENG PANDORA


       Satu per satu tirai berwarna keabu-abuan itu dibuka, membiarkan cahaya matahari yang masih berwarna pucat menyelusup masuk ke dalam ruangan. Samar-samar tercium aroma tanah basah karena semalaman habis diguyur air hujan. Aromanya menyisakan sensasi yang berbeda dan begitu khas, batinku.        
Tik tok tik tok. Dentuman jarum jam terdengar seperti tetesan hujan yang menghujam atap museum yang terbuat dari seng, berisik, namun dalam sela keberisikan itu entah kenapa dalam hatiku terasa sangat nyaman. Aku mempunyai argumen, jika waktu berhenti maka sama saja dengan mati, tentu aku tak menginginkan hal itu terjadi. Di sini hingga saat ini aku harus menunggu seseorang. Iya sosok yang selama ini ingin ku temui kembali. Aku hanya beharap dalam hati kecilku.
Pandanganku teralih saat mendengar suara pintu terbuka. Sebuah pintu yang terbuat dari besi dibentuk menjadi pola-pola sehingga menyerupai tralis besi yang biasanya terpasang pada muka jendela, sebagai penutupnya digunakan fiber transparan agar sedikit terlihat dari luar. Karena pintu sedikit berat jika dibuka akan mengeluarkan suara ‘krek’ yang nyaring akibat gesekan besi dengan lantai.
Nampaknya ia pengunjung pertama yang datang pagi ini, seorang pria paruh baya yang usianya sekitar 40th dan dia terlihat bukan turis lokal. “Good morning, Sir.” Sapa halus Pak Nyoman, salah satu penjaga museum yang sudah mengabdikan dirinya di sini hampir separuh usianya. Entah kenapa, padahal gaji kerja di sini tak seberapa. Untung saja ia hidup sendirian, tak punya istri dan tak punya anak. Aku rasa gaji yang ia dapat dari kerjanya cukup untuk menyambung hidupnya yang seorang diri.

Good morning,” sapa balik turis itu dengan senyuman ramah yang menyingsing dari raut wajahnya.
Tanpa basa-basi lagi turis itu melangkahkan kakinya berkeliling melihat koleksi museum. Dengan penuh kehitmatan ia memandangi dan mendalami setiap makna dalam lukisan yang terpajang di dinding, berderet dan hanya berjarak sekitar 30 cm. Matanya bergerak naik turun memandangi lukisan yang ada di hadapannya, sesekali tangannya terulur ke depan membuat jemarinya bersentuhan langsung dengan cat yang timbul di permukaan kain kanvas. Raut wajah-nya masih terlihat tenang tanpa ekspresi, hanya saja kedua alisnya kadang sedikit terpaut jadi satu, atau terkadang alisnya terangkat membuat garis-garis halus di keningnya semakin terlihat. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
A beautiful girl, right?.” Muncul suara tiba-tiba dari Pak Nyoman yang kini sudah berdiri di sampingnya. Turis itu pun sigap menarik tangannya kembali, ia berusaha menghilang-kan rasa kekagetannya sembari memainkan kumis tebalnya yang terlihat seperti tokoh Charlie.
Kirei na onna. Demo, sono me wa sabishi kana?[1].” Dari kalimat yang diucapkannya kini Pak Nyoman jadi tahu turis itu asalnya darimana. Pak Nyoman hanya tersenyum tanda bahwa ia tahu yang dimaksud si turis yang berdiri di sampingnya.
Pak Nyoman meletakkan kedua tangannya ke belakang sama persis seperti barisan anak pramuka yang sedang diistirahatkan, menarik nafasnya dalam-dalam sembari mencari kata yang tepat untuk memulai ceritanya. “Baru kali ini saya bertemu dengan orang yang bisa menebak ekspresi gadis yang ada di dalam lukisan ini dengan cepat.”  Balas Pak Nyoman dalam bahasa Jepang dengan fasih bercampur dengan logat Jawanya. “Apakah anda seorang pelukis, Pak...”
“Akihito.” Turis itu menjawab pendek, “Iya, gaka jyanai. Geijutsu ga suki dake[2].” Ia tersenyum sama seperti saat pertama kali masuk tadi. Kini suasana terlihat sedikit akrab di antara keduanya.
“Akihito-san, perkenalkan saya Nyoman.” Mengulurkan tangan kanannya dan disambut baik oleh laki-laki yang ada di hadapannya. “Apakah anda mau dengar cerita tentang gadis yang ada di dalam lukisan ini?”, mengajukan pertanyaan yang sudah pasti siapa pun turis yang datang ke sini tak akan pernah melewatkan dongeng dari Pak Nyoman, yang sudah ia ceritakan berpuluh-puluh kali tanpa bosan.
Si turis menganggukkan kepala.
“Sudah lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sebelum pemilik rumah ini menjadikannya museum seperti sekarang. Dalam keluarga itu memiliki masalah yang rumit, terjadi tragedi yang tak pernah diinginkan siapapun. Siapapun.” Pak Nyoman menegaskan kalimatnya. “Permasalahan itu bermula saat sang ayah menentang hubungan anak sulungnya, tapi sang anak lebih memilih pergi dari rumah. Memutuskan ikatan keluarganya dan meninggalkan segalanya. Si sulung pergi jauh ke luar Kota bersama kekasihnya.”
Bertahun-tahun tanpa kabar, si sulung menghilang bagai ditelan bumi. Berlalunya waktu, sang ayah yang sudah menua mulai sakit-sakitan. Terpaksa si anak bungsu yang menimba ilmu di pulau seberang akhirnya pulang ke kampung halamannya, merawat sang ayah. Hal itu membuat beban tersendiri dalam hati ayahnya. “Kembalilah ke tanah perantauan, kini keadaan ayah sudah lebih membaik.  Kamu jangan khawatir lagi.” Ujarnya pada si bungsu.
“Aku tidak bisa meninggalkan ayah sendirian dalam keadaan seperti ini.” Terdengar nada suara yang sumbang, kelopak mata bagian atas menurun dan secara perlahan bibir bagian samping ikut menurun. Si bungsu sedih menatap keadaan ayahnya, ia mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk memulai pembicaraan yang sedikit sensitif. “Kakak sendiri yang sudah memutuskan untuk pergi dari rumah. Ayah tak perlu menghukum diri sendiri seperti ini. Mungkin aku tak punya bakat seni sama seperti ayah atau kakak, tapi aku akan berusaha semampuku untuk membuat ayah bangga padaku, walau hanya sekali. Jadi ku mohon ayah sehat lah kembali.”
Sang ayah menatap balik si bungsu, “Ayah senang sekarang kamu sudah tumbuh dewasa, menjadi gadis yang cantik jelita. Ayah hanya berharap kamu jangan pernah mengambil langkah seperti kakakmu, hidup lah senormal mungkin dan bahagialah.” Itu adalah kalimat terakhir sebelum sang ayah akhirnya pergi meninggalkan si bungsu untuk selamanya.
Semenjak meninggalnya sang ayah, si bungsu memutuskan untuk membuat ruang galeri ayahnya menjadi tempat museum. Ia mulai merapikan semua peralatan lukis yang berserakan dan menyimpannya di gudang. Satu per satu ia memilih lukisan untuk dipajang di dinding, hingga tanpa sengaja ia menemukan lukisan dengan nama Pandora yang masih tertutupi oleh kain putih. Ia tahu betul wajah yang tergores di atas kanvas itu. Orang yang sangat ia kenal, orang yang selama ini dirindukan ayahnya dan orang yang saat ini ingin ia marahi. Namun wajah yang sangat ia kagumi dari dulu.
“Pa-n-do-ra.” Akihito mengeja tulisan yang ada di hadapannya, ia mengalihkan pandangannya ke Pak Nyoman yang mengangguk membenarkannya.
Pak Nyoman melanjutkan ceritanya kembali. Adegan setelah meninggalnya sang ayah, si sulung pulang kembali ke rumah. Wajahnya terlihat sangat kuyu ditambah lagi rambut sebahunya yang ia biarkan tergerai sangat berantakan, kusut, seperti belum disisir berhari-hari. Ia berdiri tepat di depan pekarangan rumah dan si bungsu segera menemuinya. Mereka berdiri saling behadapan.
Bibir si bungsu bergetar menahan emosinya agar tidak meluap, “kenapa kakak baru pulang sekarang?”. Nadanya sedikit meninggi, matanya menatap tajam. Tapi sang kakak masih terdiam tak menjawab. “Selama ini ayah tak pernah melupakanmu kak. Bahkan sampai akhir hidupnya hanya kakak yang selalu dikhawatirkan ayah, hanya kamu seorang kak.” Bulir-bulir bening luruh dari pipinya secara teratur.
“Kenapa saat itu kakak lebih memilih wanita jalang itu, kenapa? Apa bagi kakak kami tak ada artinya hah?.”
“Ini tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku...aku bisa jelaskan semuanya.” Si sulung mencoba melangkah mendekati si bungsu. Kakinya terhenti.
“Sudah terlambat.” Teriak si bungsu, disusul gerakan kaki mundur dua langkah. “Semuanya sudah terlambat, kakak pergi meninggalkan rumah bertahun-tahun. Dan sekarang mamintaku untuk mendengarkan penjelasanmu yang bahkan sudah tak ada artinya lagi bagiku?.” Matanya menatap nanar. Si bungsu merasa dihianati oleh orang yang paling ia sayangi. Semenjak itu si sulung pergi dan tak pernah menunjukkan batang hidungnya di hadapan si bungsu. Kehidupannya berakhir dengan tragedi.
****
“Gadis yang ada dalam lukisan ini adalah si sulung yang tadi saya ceritakan ke anda.” Akihito hanya terdiam dan membayangkan kembali kisah yang ia dengar, lalu merekam adegan demi adegan di dalam kepalanya.
 “Pandora berarti ‘pemberian yang terbaik’. Ini adalah bentuk ungkapan kasih sayang dari sang ayah kepada si sulung.” Masih menggunakan bahasa asalnya, Akihito mencoba mendeskripsikan arti lukisan Pandora yang ada di hadapannya.
“Saya merasa sangat terkesan anda bisa menangkap makna dari lukisan ini dengan sangat baik.” Pak Nyoman tersenyum puas, “mari kita lanjutkan ke lukisan yang lainnya. Saya rasa anda akan lebih tertarik untuk mengungkap artinya.” Pak Nyoman mempersilahkan Akihito untuk melihat koleksi yang lainnya.
Seperti yang mereka bicarakan tadi, aku adalah gadis yang berusia sepuluh tahun, mengenakan gaun one piece berwarna putih gading, sedang berdiri di depan pekarangan rumah dengan kedua lenganku yang memeluk boneka teddy bear sambil tersenyum lebar. Di sana aku sedang menunggu seorang laki-laki yang selalu ku panggil dengan sebutan Ayah. Dalam kediaman dan senyuman kesepian akan penantian yang tak berujung. Karena orang yang selalu ku tunggu kini tak akan pernah datang lagi, hanya ada aku yang terjebak di sini. Selalu menunggunya tanpa kata. Tanpa arti. Ini adalah hukuman dari kesalahan yang telah ku perbuat di kehidupanku sebelumnya. Berakhir menjadi gadis Pandora yang kesepian.





[1] Gadis yang cantik. Tapi, matanya terlihat kesepian ya?
[2] Tidak, saya bukan pelukis. Hanya seoarang pecinta seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar