Satu per satu tirai berwarna
keabu-abuan itu dibuka, membiarkan cahaya matahari yang masih berwarna pucat
menyelusup masuk ke dalam ruangan. Samar-samar tercium aroma tanah basah karena
semalaman habis diguyur air hujan. Aromanya menyisakan sensasi yang berbeda dan
begitu khas, batinku.
Tik
tok tik tok. Dentuman jarum jam terdengar seperti tetesan hujan yang menghujam
atap museum yang terbuat dari seng, berisik, namun dalam sela keberisikan itu entah
kenapa dalam hatiku terasa sangat nyaman. Aku mempunyai argumen, jika waktu
berhenti maka sama saja dengan mati, tentu aku tak menginginkan hal itu
terjadi. Di sini hingga saat ini aku harus menunggu seseorang. Iya sosok yang
selama ini ingin ku temui kembali. Aku hanya beharap dalam hati kecilku.
Pandanganku
teralih saat mendengar suara pintu terbuka. Sebuah pintu yang terbuat dari besi
dibentuk menjadi pola-pola sehingga menyerupai tralis besi yang biasanya terpasang
pada muka jendela, sebagai penutupnya digunakan fiber transparan agar sedikit terlihat
dari luar. Karena pintu sedikit berat jika dibuka akan mengeluarkan suara
‘krek’ yang nyaring akibat gesekan besi dengan lantai.
Nampaknya
ia pengunjung pertama yang datang pagi ini, seorang pria paruh baya yang usianya
sekitar 40th dan dia terlihat bukan turis lokal. “Good morning, Sir.” Sapa halus Pak Nyoman, salah satu penjaga
museum yang sudah mengabdikan dirinya di sini hampir separuh usianya. Entah
kenapa, padahal gaji kerja di sini tak seberapa. Untung saja ia hidup
sendirian, tak punya istri dan tak punya anak. Aku rasa gaji yang ia dapat dari
kerjanya cukup untuk menyambung hidupnya yang seorang diri.
“Good morning,” sapa balik turis itu
dengan senyuman ramah yang menyingsing dari raut wajahnya.
Tanpa
basa-basi lagi turis itu melangkahkan kakinya berkeliling melihat koleksi
museum. Dengan penuh kehitmatan ia memandangi dan mendalami setiap makna dalam
lukisan yang terpajang di dinding, berderet dan hanya berjarak sekitar 30 cm. Matanya
bergerak naik turun memandangi lukisan yang ada di hadapannya, sesekali
tangannya terulur ke depan membuat jemarinya bersentuhan langsung dengan cat
yang timbul di permukaan kain kanvas. Raut wajah-nya masih terlihat tenang
tanpa ekspresi, hanya saja kedua alisnya kadang sedikit terpaut jadi satu, atau
terkadang alisnya terangkat membuat garis-garis halus di keningnya semakin
terlihat. Entah apa yang dipikirkannya saat ini.
“A beautiful girl, right?.” Muncul suara
tiba-tiba dari Pak Nyoman yang kini sudah berdiri di sampingnya. Turis itu pun
sigap menarik tangannya kembali, ia berusaha menghilang-kan rasa kekagetannya
sembari memainkan kumis tebalnya yang terlihat seperti tokoh Charlie.
“Kirei na onna. Demo, sono me wa sabishi kana?[1].”
Dari kalimat yang diucapkannya kini Pak Nyoman jadi tahu turis itu asalnya darimana.
Pak Nyoman hanya tersenyum tanda bahwa ia tahu yang dimaksud si turis yang
berdiri di sampingnya.
Pak
Nyoman meletakkan kedua tangannya ke belakang sama persis seperti barisan anak
pramuka yang sedang diistirahatkan, menarik nafasnya dalam-dalam sembari mencari
kata yang tepat untuk memulai ceritanya. “Baru kali ini saya bertemu dengan orang
yang bisa menebak ekspresi gadis yang ada di dalam lukisan ini dengan cepat.” Balas Pak Nyoman dalam bahasa Jepang dengan
fasih bercampur dengan logat Jawanya. “Apakah anda seorang pelukis, Pak...”
“Akihito.”
Turis itu menjawab pendek, “Iya, gaka
jyanai. Geijutsu ga suki dake[2].”
Ia tersenyum sama seperti saat pertama kali masuk tadi. Kini suasana terlihat
sedikit akrab di antara keduanya.
“Akihito-san,
perkenalkan saya Nyoman.” Mengulurkan tangan kanannya dan disambut baik oleh
laki-laki yang ada di hadapannya. “Apakah anda mau dengar cerita tentang gadis
yang ada di dalam lukisan ini?”, mengajukan pertanyaan yang sudah pasti siapa
pun turis yang datang ke sini tak akan pernah melewatkan dongeng dari Pak
Nyoman, yang sudah ia ceritakan berpuluh-puluh kali tanpa bosan.
Si
turis menganggukkan kepala.
“Sudah
lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sebelum pemilik rumah ini menjadikannya
museum seperti sekarang. Dalam keluarga itu memiliki masalah yang rumit, terjadi
tragedi yang tak pernah diinginkan siapapun. Siapapun.” Pak Nyoman menegaskan
kalimatnya. “Permasalahan itu bermula saat sang ayah menentang hubungan anak
sulungnya, tapi sang anak lebih memilih pergi dari rumah. Memutuskan ikatan
keluarganya dan meninggalkan segalanya. Si sulung pergi jauh ke luar Kota bersama kekasihnya.”
Bertahun-tahun
tanpa kabar, si sulung menghilang bagai ditelan bumi. Berlalunya waktu, sang
ayah yang sudah menua mulai sakit-sakitan. Terpaksa si anak bungsu yang menimba
ilmu di pulau seberang akhirnya pulang ke kampung halamannya, merawat sang
ayah. Hal itu membuat beban tersendiri dalam hati ayahnya. “Kembalilah ke tanah
perantauan, kini keadaan ayah sudah lebih membaik. Kamu jangan khawatir lagi.” Ujarnya pada si
bungsu.
“Aku
tidak bisa meninggalkan ayah sendirian dalam keadaan seperti ini.” Terdengar
nada suara yang sumbang, kelopak mata bagian atas menurun dan secara perlahan
bibir bagian samping ikut menurun. Si bungsu sedih menatap keadaan ayahnya, ia
mencoba mengumpulkan semua keberaniannya untuk memulai pembicaraan yang sedikit
sensitif. “Kakak sendiri yang sudah memutuskan untuk pergi dari rumah. Ayah tak
perlu menghukum diri sendiri seperti ini. Mungkin aku tak punya bakat seni sama
seperti ayah atau kakak, tapi aku akan berusaha semampuku untuk membuat ayah
bangga padaku, walau hanya sekali. Jadi ku mohon ayah sehat lah kembali.”
Sang
ayah menatap balik si bungsu, “Ayah senang sekarang kamu sudah tumbuh dewasa,
menjadi gadis yang cantik jelita. Ayah hanya berharap kamu jangan pernah
mengambil langkah seperti kakakmu, hidup lah senormal mungkin dan bahagialah.”
Itu adalah kalimat terakhir sebelum sang ayah akhirnya pergi meninggalkan si
bungsu untuk selamanya.
Semenjak
meninggalnya sang ayah, si bungsu memutuskan untuk membuat ruang galeri ayahnya
menjadi tempat museum. Ia mulai merapikan semua peralatan lukis yang berserakan
dan menyimpannya di gudang. Satu per satu ia memilih lukisan untuk dipajang di
dinding, hingga tanpa sengaja ia menemukan lukisan dengan nama Pandora yang
masih tertutupi oleh kain putih. Ia tahu betul wajah yang tergores di atas
kanvas itu. Orang yang sangat ia kenal, orang yang selama ini dirindukan
ayahnya dan orang yang saat ini ingin ia marahi. Namun wajah yang sangat ia
kagumi dari dulu.
“Pa-n-do-ra.”
Akihito mengeja tulisan yang ada di hadapannya, ia mengalihkan pandangannya ke Pak
Nyoman yang mengangguk membenarkannya.
Pak
Nyoman melanjutkan ceritanya kembali. Adegan setelah meninggalnya sang ayah, si
sulung pulang kembali ke rumah. Wajahnya terlihat sangat kuyu ditambah lagi
rambut sebahunya yang ia biarkan tergerai sangat berantakan, kusut, seperti
belum disisir berhari-hari. Ia berdiri tepat di depan pekarangan rumah dan si
bungsu segera menemuinya. Mereka berdiri saling behadapan.
Bibir
si bungsu bergetar menahan emosinya agar tidak meluap, “kenapa kakak baru
pulang sekarang?”. Nadanya sedikit meninggi, matanya menatap tajam. Tapi sang
kakak masih terdiam tak menjawab. “Selama ini ayah tak pernah melupakanmu kak.
Bahkan sampai akhir hidupnya hanya kakak yang selalu dikhawatirkan ayah, hanya
kamu seorang kak.” Bulir-bulir bening luruh dari pipinya secara teratur.
“Kenapa
saat itu kakak lebih memilih wanita jalang itu, kenapa? Apa bagi kakak kami tak
ada artinya hah?.”
“Ini
tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku...aku bisa jelaskan semuanya.” Si sulung
mencoba melangkah mendekati si bungsu. Kakinya terhenti.
“Sudah
terlambat.” Teriak si bungsu, disusul gerakan kaki mundur dua langkah. “Semuanya
sudah terlambat, kakak pergi meninggalkan rumah bertahun-tahun. Dan sekarang
mamintaku untuk mendengarkan penjelasanmu yang bahkan sudah tak ada artinya
lagi bagiku?.” Matanya menatap nanar. Si bungsu merasa dihianati oleh orang
yang paling ia sayangi. Semenjak itu si sulung pergi dan tak pernah menunjukkan
batang hidungnya di hadapan si bungsu. Kehidupannya berakhir dengan tragedi.
****
“Gadis
yang ada dalam lukisan ini adalah si sulung yang tadi saya ceritakan ke anda.”
Akihito hanya terdiam dan membayangkan kembali kisah yang ia dengar, lalu
merekam adegan demi adegan di dalam kepalanya.
“Pandora berarti ‘pemberian yang terbaik’. Ini
adalah bentuk ungkapan kasih sayang dari sang ayah kepada si sulung.” Masih
menggunakan bahasa asalnya, Akihito mencoba mendeskripsikan arti lukisan
Pandora yang ada di hadapannya.
“Saya
merasa sangat terkesan anda bisa menangkap makna dari lukisan ini dengan sangat
baik.” Pak Nyoman tersenyum puas, “mari kita lanjutkan ke lukisan yang lainnya.
Saya rasa anda akan lebih tertarik untuk mengungkap artinya.” Pak Nyoman mempersilahkan
Akihito untuk melihat koleksi yang lainnya.
Seperti
yang mereka bicarakan tadi, aku adalah gadis yang berusia sepuluh tahun, mengenakan
gaun one piece berwarna putih gading,
sedang berdiri di depan pekarangan rumah dengan kedua lenganku yang memeluk
boneka teddy bear sambil tersenyum
lebar. Di sana aku sedang menunggu seorang laki-laki yang selalu ku panggil
dengan sebutan Ayah. Dalam kediaman dan senyuman kesepian akan penantian yang
tak berujung. Karena orang yang selalu ku tunggu kini tak akan pernah datang
lagi, hanya ada aku yang terjebak di sini. Selalu menunggunya tanpa kata. Tanpa
arti. Ini adalah hukuman dari kesalahan yang telah ku perbuat di kehidupanku
sebelumnya. Berakhir menjadi gadis Pandora yang kesepian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar