Kamis, 20 Juli 2017

Dua Sisi yang Berdampingan

         Di sebuah gubuk reyot, di tengah hamparan ladang persawahan, kini aku berada. Ditemani terik matahari yang nyaris menyilaukan mata. Jemariku menari lincah di atas lembaran kertas folio, menulis rentetan kalimat permohonan untuk sebuah surat lamaran kerja. Entah berapa lembaran kertas folio aku habiskan demi menulis kalimat yang sama berkali-kali. Mungkin, jumlahnya pun setara dengan hasil penolakannya.
        Sudah hampir setahun yang lalu aku melepas status sebagai “maha-siswa”. Status yang selalu dieluh-eluhkan oleh semua anak muda seusiaku, dulu. Nampaknya, status itu telah menjadi ungkapan kosong, berdebu, layu, dan mati begitu saja digilas putaran waktu. Seperti aku ini. Setelah lulus, kembali ke realita aku disambut dan ditimang dengan pergantian status baru yakni pengangguran. Kebingungan. Persis dengan ratusan orang di luar sana. Ironisnya, diantara mereka bahkan tak perlu dipusingkan dengan kisah skripsi yang lengkap dengan cerita terornya. Lalu sesampainya di ujung jalan kita sama-sama terjun bebas menjadi sampah masyarakat, buta arah tak tahu kemana tujuannya akibat idealisme manusianya yang terlalu tinggi. Aku ikut meringis.
       
 Gerakan tanganku terhenti sejenak, kepalaku terangkat, mataku menyipit memandang hamparan lahan kosong dibayangi fatamorgana. Yang terlihat hanya lahan persawahan terasering sepi, tak ada tanaman yang mau tumbuh di atas tanah yang kering kerontang. Kecuali, rumput liar dengan koloninya hidup bebas merdeka tanpa ada gangguan semprotan pestisida. Mereka tumbuh subur memenuhi tanah-tanah yang retak karena musim kemarau berkepanjangan dan tanah pun mulai kehausan. Akibatnya para petani kehilangan lahan pekerjaan utama. Sekarang mereka hanya bisa kerja serabutan demi menyambung hidup, demi sesuap nasi. Aku pun tersenyum tipis, terheran-heran sendiri, tersadar kalau ternyata hidup manusia mudah sekali dibolak-balikan semacam ini.
         Malamnya, setelah menyelesaikan makan malam tepat pukul 7, aku kembali ke kamar, menutup pintu rapat-rapat, menyibukkan diri di dalam. Pandanganku menyoroti sebuah parang yang sudah tergolek kaku di atas lantai berubin, dijajari sebuah senter, tali, P3K, lalu dua buah botol air minum kemasan. Setelah ku pastikan semuanya lengkap. Semua itu ku jejalkan dengan paksa masuk ke tas ransel kumal yang sudah hampir koyak, akibat bertahun-tahun ku kerja rodikan mengangkut kilo-an buku semasa kuliah. Menjerit sudah dia saat ini.
***
Ini cerita tiga bulan lalu, saat di desa  ada agenda pertemuan warga satu kampung. Pertemuan itu membahas musim kemarau panjang yang mengancam kampung kami hingga memasuki stadium akhir garis miring kritis. Karena aku termasuk pemuda berstatus pengangguran, alhasil di sana aku ikut menjeburkan diri, ikut perkumpulan, ikut berkontribusi, yang intinya adalah aku harus ikut membantu menyelesaikan masalah. Sempat Pak Kades bilang padaku bahwa, “anak muda itu aset bangsa, harus ikut kontribusi dalam masyarakat. Ilmu kamu bisa diterapin to? Lah wong udah lulus jadi sarjana, mestinya pinter.” Terdengar nada mencemooh dari suaranya.
            Maaf— seketika keningku mengkerut. Ingin sekali waktu itu aku mengoreksi penyataan Pak Kades. Mengenai disiplin ilmu yang aku pelajari semasa kuliah itu berbeda jauh dengan masalah kemarau panjang di desa. Tapi, mulutku terkunci rapat berganti dengan senyuman sesaat, untuk sopan santun.
             Sebenarnya sudah berbagai upaya telah dilakukan warga untuk menanggulangi kekeringan ini. Seperti ritual pemanggilan hujan, menggali sungai-sungai hingga dalamnya melebihi lima meter tapi tak pernah muncul genangan air, lalu membuat sumur-sumur buatan, disusul serakan sesajen di pinggiran kali [1] yang entah apa tujuannya, hingga meminta bantuan ke pemerintah. Itu pun tak ada hasil. Warga kehabisan ide, permasalahan kembali mentok.
            Melihat situasi itu, aku pun angkat bicara. Mengusulkan untuk mencari sumber mata air di dalam hutan. Seketika wajah Pak Kades mengeras, terlihat dia menelan ludah berkali-kali. Tubuhku langsung terkunci dengan hujaman sorot mata dari seluruh warga yang ada di Balai Desa. Pandangan mereka terlihat takut bercampur kemarahan. Aku pun mencoba memberi penjelasan, “hutan itu hidup. Karena saya pikir, kehidupan bersisian dengan adanya air. Jadi, kemungkinan di sana ada sumber mata air yang kita cari. Apa salahnya kita coba menyusuri hutan lebih dalam—”. Seluruh ruangan kembali senyap. Sedetik kemudian terdengar derak kaki kursi beradu dengan lantai, seorang laki-laki paruh baya berdiri lalu angkat bicara, menolak habis-habisan tentang ideku. Katanya aku itu “wong sableng”, berpendidikan tapi kok ya otaknya nggak dipakai. Aku merasa amat tersinggung. Malam itu juga aku putuskan untuk tak angkat bicara lagi, aku berhenti bicara dengan para warga.
            Mereka sengaja menutup mata hingga buta. Terlalu paranoid dengan kejadian beberapa tahun silam yang katanya ada seorang warga meninggal di dalam hutan diterkam harimau. Semenjak itu segala aktifitas disekitar hutan dihentikan, kalau mau cari kayu bakar hanya diizinkan sekitar luar hutan saja, biar lebih aman. Nonsense—, rutukku dalam hati.
***
Semenjak kejadian di Balai Desa itulah aku memutuskan untuk menyusuri hutan sendirian, tanpa sepengetahuan warga tentunya. Jika mereka tahu, aku bisa dihardik habis-habisan hingga menjadi perbincangan hangat bagi mulut yang kehausan akan gosip.
Tepat pukul dua dini hari, setelah ku pastikan semua warga tertidur pulas di rumahnya masing-masing. Aku pun menguatkan tekat untuk masuk ke dalam hutan. Melewati ladang dengan berjalan kaki. Kakiku terseok-seok menapaki tanggul sawah yang ciut. Ditambah tanahnya yang kering seringkali membuat sepatu bot yang ku kenakan tergelincir, lalu terjerembab masuk ke dalam lubangan tanah yang mengaga lebar, membuat aku kesusahan jalan.
            Setelah hampir satu jam sendiri kesusahan berjalan di tanggul-tanggul ladang, kini aku sudah sampai di jalanan yang rata, tanda bahwa sebentar lagi akan sampai di mulut hutan. Kudongakkan kepala memandang langit malam, cahaya bulan yang tadinya terang benderang perlahan mulai meredup tertutupi oleh awan kelabu. Ku raih senter dari kantong tas, menekan tombol on. Semburat cahaya kekuningan merebak menyinari jalanan padas yang ditumbuhi rerumputan krokot, dimana saat ini kakiku berpijak. Cahaya senter ku alihkan ke depan, terlihat rimbunan pohon yang padat dan gelap, hutan sudah mulai terlihat, bergegas aku kembali melangkahkan kaki. Sebisa mungkin harus masuk hutan, sebelum pagi datang.
            Karena medan tak begitu sulit dilewati, jalan pun mulus tak ada lagi kaki yang masuk lubangan tanah. Dalam waktu singkat aku sudah sampai di mulut hutan. Aku melirik jam tangan di lengan kanan, sebentar lagi waktunya subuh. Dengan langkah lebar, aku pun memasuki hutan sambil menegak air minum hingga tandas.
            Baru saja aku memasuki hutan, senter yang ada di tangan mendadak linglung, ber-gerak acak-acakan, tak beraturan. Seperti dugaanku sebelumnya, jalan setapak pun terputus sekitar seratus meter dari mulut hutan. Cukup sampai di sini area aman yang dibuat warga agar tidak memasuki hutan lebih dalam lagi. Spontan kakiku berjalan ke arah kanan, mengambil jalur dengan semak belukar yang tak begitu rapat. Petualanganku resmi dimulai.
            Ternyata memasuki hutan tak semudah yang ku bayangkan. Tanganku bekerja ekstra dua kali lipat, mengayun berkali-kali membabati tumbuhan liar yang menghalangi jalan, badan harus gesit gerak ke kanan ke kiri menghindari duri-duri belukar, dan sesekali me-loncati batang pohon yang tumbang. Baru sebentar saja aku sudah merasa kelelahan. Kali kedua aku menegak persediaan air mimum kemasan yang terakhir hingga tandas.
Menyesal aku, selama beberapa bulan terakhir ini tak pernah melakukan aktifitas fisik. Kerjaanya hanya makan, tidur, nonton siaran televisi yang acaranya tak ku pahami sama sekali, atau cuma bantuin ibu merajah bawang merah sampai nangis bombay. Sekarang baru kerasa ngos-ngosan masuk hutan dan bagiku ini pertama kalinya.
Tiba-tiba aku menghentikan ayunan parang agar tak menyibaki belukar. Terdengar bunyi krasak-krusuk dari dedaunan kering yang terinjaki oleh kaki. Seketika aku mematung, keringat dingin membanjiri pelipis, sekonyong-konyong ingin rasanya cepat lari menjauh me-ninggalkan tempat ini. Tapi, tubuhku terasa terkunci saat sepasang bola mata merah menyala menatap ke arahku. Dari temaram cahaya senter, aku tahu sekujur tubuhnya ditutupi bulu hitam yang lebat, hidungnya yang mencuat ke depan mengendus berkali-kali, dan tubuhnya besar karena obesitas. Ia adalah induk babi hutan liar, diikuti tiga anaknya yang masih kecil berbulu cokelat dengan garis-garis krem disekujur punggungnya.
Beberapa menit kami saling bertukar pandang, bertukar nafas ketakutan dengan dengusan kecurigaan. Pelan-pelan, aku memberanikan diri mundur teratur. Sialnya, kakiku menginjak ranting kering hingga mengeluarkan bunyi retakan yang nyaring. Seketika pandangan si induk menyalak tajam, marah rupanya dia.
Tanpa pikir panjang, parang yang ada di tangan langsung ku lempar ke tanah dan lari kalang kabut ke segala arah. Adrenalin pun terpompa habis-habisan. Otak berfikir hanya untuk menyelamatkan diri. Membuat ku melupakan rasa lelah yang tadi sempat meng-gelayuti tubuh, seperti kijang yang dilepas dari kandang, aku melesat cepat menerabas masuk rimbunan belukar dengan tangan kosong. Hasilnya, jaket parasit yang membungkus tubuh koyak-koyak akibat goresan duri belukar, begitu pula pipi sebelah kanan ku ikut terbaret hingga rasanya panas dan perih. Tanpa sadar aku memasuki hutan lebih dalam.
            Seumur-umur aku tak pernah lari sekencang ini. Kecuali, ketika aku kepepet plus kebelet pingin buang air kecil ke kamar mandi.
            Melihat sebuah pohon dengan batang yang kokoh, aku pun memutuskan untuk memanjatnya. Insting simpanse merebak dari diriku, gesit dan lincah tanganku menggapai ranting pepohonan demi menopang berat tubuh. Kaki menancap kuat di batang pohon, lalu beringsut naik hingga ketinggian yang memungkinkan ku tak terjangkau serudukan induk babi hutan.
Terasa batang pohon terguncang, rupanya si induk membenturkan kepalanya di bawah sana. Berkali-kali. Mendadak mukaku menegang bukan kepalang, aku jadi teringat di Australia babi hutan menjadi predator bagi binatang ternak di sana. Aku menelan ludah hingga tengkak terasa sakit. Berspekulasi, jangan-jangan tersangka hilangnya warga beberapa tahun silam ulah si induk babi hutan ini?. Dan sekarang dia mengincar ku?. Oh tidak, aku tergidik ngeri. Sekali lagi menelan ludah.
“Tolong jangan makan saya Ibu babi. Daging saya keras, alot, dan tak enak dimakan. Ibu tak ingin kan anak-anaknya nanti kesusahan mengunyah daging saya...” bujukku padanya, terlepas dia mengerti atau tidak. Aku hanya kehabisan akal, satu-satunya tindakan realistis yang bisa ku lakukan saat ini adalah berharap dan berdoa.
Entah berapa lama aku berada di atas pohon, kini sinar matahari pagi menyelisik masuk diantara dedaunan. Induk babi hutan dan tiga anaknya juga sudah pergi meninggalkan ku sendirian. Hanya saja ketakutan itu berganti lain, yaitu cara turun dari pohon yang jarak tubuhku dengan tanah sekitar tiga meteran.
Aku beranikan diri memandang ke bawah, mencoba menguatkan hati untuk cepat turun. Pertama, ku lemparkan tas ransel ke tanah, lalu aku kembali berpegangan erat pada ranting, sedangkan kaki mencoba mengambil pijakan diantara tonjolan batang pohon yang mencuat. Percobaan awal berhasil tanpa halangan, nafas pun berderu makin kencang. Kembali ku ulangi gerakan yang serupa. Malangnya, ranting yang ku jadikan pegangan mendadak roboh. Seketika tubuhku terjatuh, berdebum keras di atas tanah kering, dan pergelangan kakiku terkilir akibat terjatuh terlebih dulu menghantam tonjolan batang pohon mati yang berada tak jauh dari tempatku terjerembab.
Ouch! Ouch! Aaah—”, aku mengerang kesakitan. Seraya beringsut mencoba duduk dan menyandarkan badan pada batang pohon dengan kaki berselonjoran. Aku istirahat sejenak.
Ku oleskan obat di atas luka-luka kulit yang ku dapati dari kejar-kejaran dengan babi hutan. Rasanya lebih baikan. Untuk sesaat ku pejamkan mata, menikmati semilir angin yang berhembus pelan, mendengarkan suara sahut menyahut antara tonggeret dengan kicauan burung. Sejenak, ini adalah momen paling damai yang aku rasakan semenjak pertama kali melangkahkan kaki keluar rumah.
Perjalanan dilanjutkan. Meski dengan kaki pincang sebelah, tak membuatku menyerah begitu saja. Prinsipku hanya satu, “menyelesaikan apa yang sudah aku mulai”.
Setelah hampir dua jam penuh kakiku melangkah tak tahu arah, sesekali tersendat karena harus mengistirahatkan kaki yang terasa makin sakit, ditambah tenggorokan yang kering karena kehausan. Sayup-sayup aku mendengar suara gemericik air. Air terjun!, aku menjerit keras dalam hati.
Tergopoh, aku menaiki tanah yang sedikit menanjak mencoba memastikan dugaan. Benar saja, sebuah kucuran besar dan sangat deras luruh dari tebing setinggi lima puluh meter lebih menyibak tepat di tengah, seolah ada dua air terjun yang dibiarkan terbelah dengan sengaja. Terlihat bulir-buliran air merebak ke segala sisi membawa hawa sejuk hingga ke pori-pori. Pandanganku beralih pada cekungan telaga ber-air bening, kinclong, memantulkan sisi keindahan alam dengan bayangan diriku di atas genagan. Hanya memandanginya saja membuatku takjub. Inikan surga bumi itu?.
Di saat seperti inilah hatiku terasa menciut, kerdil, seperti terbonsai, tak bisa berkutik karena saking kagumnya. Kesadaran pun berbisik dalam pikiranku, ternyata hidup di dunia ini ada dua kubu ilusi. Pertama, kubu dari sisi bumi dengan kenaturalannya dan yang kedua kubu dari sisi manusia dengan intelegensinya. Kami ada untuk hidup saling berdampingan. Menyeimbangkan satu sama lain. Menjaga dan merawat. Bukan menghancurkan salah satu pihak. Karena di sini tak ada makhluk yang lebih superior, semuanya sama dalam satu bingkai, yakni sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.  
Bagiku, sekarang alam sedang menguji ketangguhan manusia. Terjadinya global warming akhir-akhir ini yang mengakibatkan siklus cuaca menjadi tak beraturan, memberi peringatan melalui kemarau panjang hingga mengakibatkan kekeringan. Agar manusia tersadar bahwa menjaga bumi dan seluruh isinya itu penting. Tak ada kata tawar-menawar. [*]




[1] Sungai-sungai kecil atau hulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar