Kamis, 20 Juli 2017

Resensi Novel Supernova = Intelegensi Embun Pagi

Judul buku  : Intelegensi Embun Pagi
Penulis  : Dewi Lestari (Dee)
Halaman buku  : 724 halaman
Penerbit  : Bentang Pustaka
Tahun Terbit  : 2016

Sinopsis
Setelah mendapat petunjuk dari upacara Ayahuasca di Lembah Suci Urubamba, Gio berangkat ke Indonesia. Di Jakarta, dia menemui Dimas dan Reuben. Bersama, mereka berusaha menelusuri identitas orang di balik Supernova sekaligus mencari jejak DivaHingga akhirnya dalam babak ini mempertemukan Gio dengan sosok hecker bernama Toni alias Mpret.   


Dua Sisi yang Berdampingan

         Di sebuah gubuk reyot, di tengah hamparan ladang persawahan, kini aku berada. Ditemani terik matahari yang nyaris menyilaukan mata. Jemariku menari lincah di atas lembaran kertas folio, menulis rentetan kalimat permohonan untuk sebuah surat lamaran kerja. Entah berapa lembaran kertas folio aku habiskan demi menulis kalimat yang sama berkali-kali. Mungkin, jumlahnya pun setara dengan hasil penolakannya.

BUMI DAN MANUSIA

Bandung, Mei 2017
            “An... ada kiriman paket untukmu nih.” Panggil Mama dari lantai bawah. Sedangkan kamarku letaknya di lantai dua.
            “Paket apa Ma? Dari siapa?” balasku setengah berteriak.
            “Tak ada nama pengirimnya, An.”
            Tak lama daun pintu kamarku terbuka setengah, aku keluar, berjalan mendekati Mama yang masih berdiri di dekat tangga sambil membolak-balik sebuah amplop coklat di tangannya.
            Mama beralih memandangku yang sudah berdiri di hadapannya. “Ini. Mama sudah periksa nama pengirimnya tapi nggak ada. Sebaiknya segera kamu buka, semoga bukan sesuatu yang mengancam, An.” Kata Mama sambil menyerahkan amplop coklat tipis seukuran kertas A5 ke tanganku.
  

Rabu, 10 Mei 2017

TOPENG PANDORA


       Satu per satu tirai berwarna keabu-abuan itu dibuka, membiarkan cahaya matahari yang masih berwarna pucat menyelusup masuk ke dalam ruangan. Samar-samar tercium aroma tanah basah karena semalaman habis diguyur air hujan. Aromanya menyisakan sensasi yang berbeda dan begitu khas, batinku.        
Tik tok tik tok. Dentuman jarum jam terdengar seperti tetesan hujan yang menghujam atap museum yang terbuat dari seng, berisik, namun dalam sela keberisikan itu entah kenapa dalam hatiku terasa sangat nyaman. Aku mempunyai argumen, jika waktu berhenti maka sama saja dengan mati, tentu aku tak menginginkan hal itu terjadi. Di sini hingga saat ini aku harus menunggu seseorang. Iya sosok yang selama ini ingin ku temui kembali. Aku hanya beharap dalam hati kecilku.
Pandanganku teralih saat mendengar suara pintu terbuka. Sebuah pintu yang terbuat dari besi dibentuk menjadi pola-pola sehingga menyerupai tralis besi yang biasanya terpasang pada muka jendela, sebagai penutupnya digunakan fiber transparan agar sedikit terlihat dari luar. Karena pintu sedikit berat jika dibuka akan mengeluarkan suara ‘krek’ yang nyaring akibat gesekan besi dengan lantai.
Nampaknya ia pengunjung pertama yang datang pagi ini, seorang pria paruh baya yang usianya sekitar 40th dan dia terlihat bukan turis lokal. “Good morning, Sir.” Sapa halus Pak Nyoman, salah satu penjaga museum yang sudah mengabdikan dirinya di sini hampir separuh usianya. Entah kenapa, padahal gaji kerja di sini tak seberapa. Untung saja ia hidup sendirian, tak punya istri dan tak punya anak. Aku rasa gaji yang ia dapat dari kerjanya cukup untuk menyambung hidupnya yang seorang diri.

Kamis, 26 Januari 2017

Who I am Inside

           Ini cerita tentang kehidupanku dan pola pikirku tentang pandangan hidup yang ada di sekitarku. Oke sebelum itu perkenalkan namaku Triantama Putri, kebanyakan teman-temanku paling suka memanggilku dengan nama singkatan Trima. Jangan ketawa jika beberapa halaman nanti namaku sering disebut dan terdengar aneh ditelinga kalian. So.. kita mulai ceritanya sekarang. Awalnya kehidupanku biasa aja, kuliah lancar, orang tua sehat sentosa, kalau ditanya soal kegiatan kampus? Hmm.. aku sendiri memang enggak peduli ikut seperti begituan. Lebih enak nongkrong bareng temen habis kelar kelas dan ngobrol ngalor-ngidul ngegunjingin orang lain. Daripada harus panas-panasan demo yang nggak jelas, ujung-ujungnya suara mahasiswa mah engga didengerin sama pihak kampus. Bagiku ngehabisin tenaga saja.
            Tapi dalam waktu tiga minggu terakhir kehidupanku jadi jungkir balik berubah 180˚. Ini akibat usaha Ayahku mengalami inflasi besar-besaran dan tak bisa bersaing di pasaran lokal. Alhasil Ayah bangkrut dan usahanya gulung tikar, Ayah stres berat, ibu jadinya suka marah-marah terus di rumah, dan aku terpaksa harus mencari kerja paruh waktu dengan gajinya yang gede. Tapi...