Ini cerita tentang
diriku bersama kalian. Cerita sebelum pertemuan pertama, lalu waktu yang sudah
kita habiskan bersama dengan canda tawa yang kan selalu ku kenang, hingga
perpisahan panjang yang harus kita rasakan sampai sekarang. Mungkin ini
bukanlah hal penting namun, aku harap sepucuk kalimat di sini bisa mengeluarkan
sihir untuk mengobati hati kalian dikala rasa rindu itu muncul di hati kita
masing-masing. Dan terus ingatlah bahwa dulu kita pernah bersama dalam sebuah
keluarga kecil yang kalian namakan dengan ‘Partikel’.
Semuanya berawal
dari sini....
“Semua barangmu
sudah dimasukkan? Coba di cek sekali lagi nanti kalau ada yang ketinggalan lho
Ma.”
“Sepertinya sih tak
ada Man. Lagian barangku juga sedikit, kalaupun keselip satu pasti langsung
ketahuan. Ya sudah yuk kita pergi sekalian aku mau pamitan sama mba kos kalau
pindahannya hari ini.” Mengeluarkan semua barang dari kamar.
Kala itu bulan
November 2013 di kontrakan BBB, di sana adalah pertemuan pertama kali bagi kita
semua. Tak ku sangka pertemuan pertama yang biasa saja bisa berlanjut hingga tiga
tahun menemaniku mewarnai kehidupanku di bumi rantau. Hal pertama yang masih ku
ingat sampai sekarang adalah saat bertemu dengan Risma, awalnya kupikir dia
anak perempuan yang cukup anggun dan baik. Hal itu terjadi saat aku bertemu
dengannya di depan pintu gerbang kontrakan, kalau kalian masih ingat itu
kejadiannya saat pertama kali kalian lagi beberes kontrakan sebelum dihuni dan
aku datangnya telat, alhasil aku pun tak bantu sama sekali.
Aku yang baru
sampai di depan kontrakan, “Emm permisi perkenalkan aku Rochmah, anak yang
bakal ngontrak bareng kalian.” Ku sapa seorang anak yang baru bersih-bersih di
depan rumah. (setelah ku tahu dia namanya Risma)
“Iya naik aja, yang
lainnya ada di atas.” Jawabnya dengan logat bahasa sedikit ngapak sambil
tersenyum campur kebingungan.
“Baiklah. Terima
kasih.” Langsung saja aku masuk dan naik ke lantai dua. Baru saja kakiku
melangkah sampai tangga, terdengar suara ramai anak lainnya sedang
bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jawa.
Jujur saja waktu
itu aku begitu gugup bertemu dengan kalian, karena sebelumnya aku bahkan belum mengenal kalian begitu juga
sebaliknya. Tapi aku tetap memberanikan diri untuk menyapa kalian dan
memperkenalkan diriku di hadapan kalian. Syukurlah satu per satu dari kalian
menyapaku dengan baik, begitu terbuka dengan diriku yang berasal dari jurusan
berbeda dari kalian semua. Hal itu cukup membuatku senang.
Hari demi hari
berlalu dengan perlahan namun terasa begitu cepat tanpa kita sadari.
Kalian pastinya merasakannya juga kan?.
****
Kita kembali dulu
ke masa lalu saat kepindahanku ke kontrakan, aku pun mencoba menyesuaikan
diriku dengan kalian atau lebih tepatnya bisa dibilang mengakrabkan diri dengan
kalian satu per satu. Dan orang pertama yang mudah akrab denganku ternyata gadis
yang pertama kali ku temui di depan gerbang kontrakan, tak lain adalah Risma
yang baru ku tahu dia bukanlah perempuan yang anggun. Banyangan seperti itu
sudah ku lempar jauh-jauh dari kepalaku dan kini berubah menjadi gadis ‘liar’
dengan suaranya yang melengking seperti toa kalau lagi bicara, dan suka kentut
sembarangan. Akupun sedikit tertular dengan suara toanya dia.
Tapi Risma adalah
temen melancong yang cukup menyenangkan. Potongan ingatanku yang masih
tertinggal saat dulu kita pernah pergi ke Magelang hanya berdua dan posisi saat
itu baru musim liburan tahun baru. Sudah kita bangunnya kesiangan, sempet
nyasar gara-gara arahan google map,
dan situasi semakin diperparah saat kita berdua sama-sama baru kena diare
akibat makan kebanyakan setelah ngerayain malam tahun baru di kontrakan yang
hanya berdua saja. Itu adalah salah satu hal gila yang pernah ku lakukan bersamanya,
meskipun masih ada banyak kejadian lagi.
Dan Risma itu orang
yang paling berisik kalau pas ngadepin diriku kalau lagi keluar keras
kepalanya. Misalnya ketika diriku sakit. “Kamu tuh paling tua sendiri diantara
kita. Tapi paling bandel sendiri kalau dibilangin, terserah kamu lah yang
penting udah ku ingetin. Nanti kalau ada apa-apa salahinnya dirimu sendiri lho
ya!”. Naruh obat di samping tempat tidurku lalu pergi kembali ke kamarnya.
“Lah kok malah
pergi sih, Ris”. Kalau udah ngelihat dia kaya gitu, ngebuatku merasa bersalah.
Seketika aku menelan obat yang dikasihnya supaya anemiaku tak semakin parah.
Selamat menjalani
kehidupan yang baru di Ibu kota sana Ris. Dan semakin menjadi anak hits,
teruslah semangat. Sekarang aku sudah
bisa menjaga kesehatanku sendiri kok.
****
Kenangan
selanjutnya yang ku alami bersama Suci atau nama familiar yang sering ku sebut
dengan Uchika. Entah kenapa nama panggilannya bisa berubah seperti itu, ku rasa
jika dipanggil Uchika terdengar sedikit lucu karena ternyata eh ternyata dari
semua anak Partikel yang lainnya dia mempunyai hobby yang sama denganku.
Sukanya nonton film Anime.
Mungkin dari satu
hobby yang sama bisa membuatku mudah akrab dengannya, aku nggak tau jika
seandainya kami tak ada kesamaan hobby bagaimana caranya untuk mendekatinya.
Uchi itu orangnya sangat pendiam saat pertama kali ku kenal. Selain itu soal
jadwal tidur dia pasti yang paling rajin dan paling awal waktu. Tak pernah
telat sama sekali.
“Jam segini Uchi
udah tidur?!”. Pernah suatu waktu aku dibikin terheran-heran karena baru jam
sembilan dia udah tidur pules, dengan tubuh yang ditutupin selimut warna kuning
kesayangannya. Padahal yang lainnya masih kumpul di ruang tengah.
“Dari kita semua
dia itu tidurnya yang paling gasik, mah.” Sahut anak lainnya.
Meskipun dia
tidurnya paling cepat itu yang membuat dia bangunnya paling pagi dari kita
semua. Dengan kata lain dia anak yang rajin, pagi-pagi sudah beberes kamar,
mandi paling cepet, dan nyiapin makanan untuk sarapan walaupun terkadang hanya
mie instant. Uchika orangnya nggak bisa makan panas, alhasil sehabis dia
membuat mie instant langsung dibiarkan begitu aja beberapa saat dan ia tinggal
ngerjain hal yang lainnya.
“Sepagi ini siapa
yang sudah bikin mie instant sih, ngebuatku kelaparan.” Terkadang aoroma mie
instant yang dibuatnya sampai masuk ke kamarku, meskipun aku masih dalam
keadaan terlentang. Sudah bangun tapi malas beranjak dari kasur.
Selain itu, Uchika
adalah temen yang paling hangat saat diajak berbagi cerita. Terlebih aku sering
kebingungan mau cerita sesuatu ke anak Partikel yang lainnya takut kalau
jatuhnya malah diriku yang dibully. Dan aku lebih memilih mendekati Uchi untuk
berbagi cerita, karena dia bisa mengimbangiku saat aku curhat dan memberiku
masukan yang lebih masuk akal. Beberapa kali aku menceritakan masa laluku
padanya, delunya aku seperti apa atau ada saat-saat yang pingin ku lupakan di
masa laluku. Dia rela mendengarkannya walau waktu semakin larut malam dan aku
merenggut jatah tidurnya. Terima kasih banyak untuk semuanya Chika.
****
Selanjutnya beralih
ke sosok yang paling besar tapi sifatnya yang paling anak-anak dari anak
Partikel lainnya. Si Dian yang badannya paling sering ku tempeli dan kupeluki,
suka minumnya susu Ultra Mimi (padahal itu susu untuk usia anak 6-12th), keras
kepala banget kalau sudah punya pendapat suatu hal sulit untuk dirubah
terkadang aku sendiri kalau udah debat sama dia sampai hampir kepancing emosi
dan akhirnya milih ngalah.
Dian itu juga temen
yang sangat peduli, entah itu karena dia perhatian atau hanya merasa kasihan.
Jika aku lupa makan karena terlalu sibuk kegiatan organisasi, dia sampai
nyuapinku makan meski sedikit memaksa, terkadang juga membuatku makanan lalu
menyuruhku menghabiskannya. Jujur baru kali ini aku menemukan teman seperti
Dian, banyak hal yang berbeda dari kita berdua sampai membuat jengkel
masing-masing pihak, tapi entah kenapa aku nggak bisa membencinya malah makin
nggak rela lepas darinya. Itu yang membuatku kangen dengan sosok Dian.
“Lho kamu kenapa
Di?”. Suatu hari ketika ia datang ke kos Bidadari dan tiba-tiba memelukku dari
belakang ketika aku sedang masak di dapur buat nyiapin makanan buka puasa.
“Enggak apa-apa
kok, cuma kangen.” Sebentar kemudian dia melepas pelukannya. Raut mukanya
terlihat sedih saat itu.
“Kenapa? Mau cerita
sesuatu?,” sambil mengecilkan api kompor, “Gimana tadi kelayakknya? Lancar
kan.” Sesaat wajahnya berubah memerah lalu mulai menangis. Aku sepertinya
menginjak ranjau yang langsung mengeluarkan ledakan besar ‘boom’, dan aku rasa saat
itu Dian memang harus menangis dia sudah menehannya selama beberapa jam paska
kelayakan yang ku tahu pasti tidak berjalan sesuai keinginannya. Aku hanya
menyuruhnya untuk sholat supaya bisa sedikit tenang dan kalau bisa dia
mengeluarkan semua air matanya supaya tidak nyesek lagi. Selain kejadian itu
ternyata Dian juga punya sisi sensitif lainnya, tapi aku tidak bisa
menanyakannya secara langsung hanya membiarkannya suatu saat jika dia mau
terbuka padaku dan cerita panjang lebar aku siap menjadi ‘pelacur’ (pelabuhan
curhat) buatnya. Aku hanya menunggu waktu itu tiba entah sampai kapan.
****
Sosok selanjutnya
yang akan ku ceritakan adalah patner pertamaku ketika menjalani kehidupan baru di
kontrakan. Orang yang tomboy abis tapi selama berlalunya waktu sosoknya kini
berubah menjadi perempuan yang feminin. Si Emma oarang yang selalu enggak
kehabisan pokok pembahasan untuk dibicarakan. Sampai aku pun ada semboyan
sendiri buat dia, ‘Tak ada sosok dirimu, Tak ramai Ems’. Orangnya memang mudah
bergaul dari lahirnya, jadi siapapun ku pikir bisa mudah akrab dengannya.
Kalau diingat-ingat
kenangan konyol yang ku alami bersamanya saat kita masih berdua saja di
kontrakan. Terus mendengar suara orang menggeser gerbang, seketika kami berdua
jadi parno kalau ada sesuatu yang tak diinginkan. Alhasil kami berdua
menghabiskan malam pertama itu buat ngobrol panjang lebar di pintu dekat
tangga. Dan aku rasa semenjak itu anak-anak yang lainnya memasang mmt yang gede
banget di depan gerbang untuk menutupinya agar tak terlihat dari luar. Niat
sekali mereka itu dan luar bisa lah pokoknya.
Selain itu sosok
Emma yang selalu mudah sekali panik, kalau dia sudah bilang kayak gini, “Eh
gimana dong... Aku takut... Eh gimana kalau nanti begini-begini atau bala-bala
yang lainnya.”
Anak-anak langsung
responnya, “Sudahlah Ems nggak apa-apa yang penting di coba dulu. Atau saran
lainnya yang lebih ekstrim. Lah terus maunya kamu gimana Ems?.”
Karena sudah tahu
sifat Emma yang cepat panik seperti itu ngebuat anak yang lainnya mulai
terbiasa sendiri seiring waktu berjalan. Dan hanya bisa meresponnya dengan
tidak terbawa kepanikan yang dilakukannya. Selain itu dia orangnya menyukai
sesuatu yang anti mainstrem dari orang lain sukai, misalnya pilihan aliran
musik atau soal fashion. Hal itu yang kupikir unik dari sosok Emma yang ku
kenal.
Meskipun aku jarang
berbagi cerita dengan Emma secara empat mata. Tapi seitap kali aku meminta
saran atau pendapat dia langsung memeberiku saran yang logis, mengena, dan
sangat jujur sesuai dengan pemikiran yang ada di kepala kecilnya itu. Karena
dia tipe orang yang selalu berfikir relistis tak suka mengada-ada, inilah yang
paling ku sukai dari kepribadian Emma. Mungkin masih ada hal lainnya lagi yang
belum aku keketahui tentang dia. Next time aku akan mencoba mengenal dia lebih
baik lagi, semoga saja kami bisa dipertemukan kembali di kehidupan dewasa kami
yang jauh berbeda saat masih mahasiswa.
****
Jika mendengar nama
Dila dan Dwi, yang terlintas di kepalaku adalah mereka orangnya sama-sama
ceriwis, suka ngomong panjang lebar. Itulah kenapa saat mereka dipertemukan dan
kalau sudah ngobrol bareng berasa punya dunia mereka masing-masing. Bahkan aku
pun tidak bisa mendekat bahkan masuk dalam pembicaraan mereaka, karena akupun
nggak tau harus nyela pembicaraannya di sebelah mana. Akhirnya aku pun menjauh
dan lebih mendekati anak lainnya yang sedang sendirian.
Aku mengenal Dwi
karena memang kami berdua satu jurusan dan beberapa kali dipertemukan dalam
satu kelas yang sama. Karena dia aku pun bisa mengenal kalian, Dwi adalah tali
merah dan alasan dari segala hal yang ku alami bersama kalian. Meskipun tidak
banyak hal yang kami tahu dari masing-masing kepala, hanya saja dia orangnya
dewasa walau usianya paling kecil dari kami semua. Hanya saja dia terlihat diam
di beberapa kesempatan, namun sebenarnya dia selalu memperhatikan kita dalam
kediamannya itu. Dia justru merasa paling jauh sendiri dan sangat ingin dekat
dengan yang lainnya. Tapi keadaan berbeda yang membuatnya hanya bisa tersenyum
dan ketawa jika memang situasinya seperti itu.
Kami pernah
berbicara empat mata saat di perpus, “Entahlah Mah, aku merasa paling jauh
sendiri dari yang lainnya. Jika kalian masih bisa kumpul meski hanya makan
bareng, tapi kamu tahu sendiri kan aku saja nggak ada kendaraan dan sekarang
melencing sendiri di rusun.” Raut mukanya sedikit sedih dan matanya mulai
berkaca-kaca.
“Sudahlah Wi, kita
kalau ada agenda kumpul bareng pasti akan mengabari kamu kok. Dan kalau misal
diantara kami pas makan bareng itu jujur tidak pernah kita rencanakan
sebelumnya, semuanya serba dadakan.” Jelasku dengan perasaan sedikit bersalah.
Kini aku tahu
ternyata Dwi menganggap kalian sangat berarti dalam hidupnya. Terlihat saat ia
menitihkan mata karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama anak
Partikel. Maka sekarang aku tanya, bagaimana sosok Dwi di mata kalian? Dan yang
bisa menjawabnya hanyalah kalian sendiri.
Kalau tentang Dila,
tak banyak hal yang bisa ku ceritakan. Bisa dibilang kami terkadang dekat atau
bahkan tidak begitu dekat. Entahlah, semenjak dia memutuskan ‘ngelaju’ aku
bahkan seperti kehilangan kontak dengannya. Padahal sebelumnya aku dengan Dila
bisa menghabiskan banyak waktu bersama untuk ngobrol bareng, karena dia orangnya
terlalu ingin tahu makanya aku pun ceritanya jadi panjang lebar. Terlebih lagi
selera humor kita hampi sama itulah yang membuatku nyaman bicara berdua saja
dengannya.
Tapi semakin berlalunya
waktu, sosok Dila semakin pudar di dalam ingatanku. Kami tak bisa bercanda
seperti dulu lagi. Aku merasa Dila yang sekarang mudah terbawa perasaan, maka
dari itu aku pun mulai menjaga ucapanku, memasang pedal rem saat aku bicara
agar tidak menyinggung perasaannya. Tau sendiri kadang kalau aku ngomong suka
nyeplos dan tak beraturan pola kalimatnya. Setidaknya dalam hatiku terdalam, aku
berterima kasih pada Dila sudah memberiku kesempatan untuk mengenal sosoknya,
walaupun tak banyak dia sudah mau berbagi tempat duduknya denganku agar aku
mudah bergabung dengan keluarga Partikel.
****
Saat pertama kali
aku melihat sosok Sofi yang terlintas hanyalah si muka jutek, nyeremin, hingga
aku berfikir tidak akan bisa akrab dengannya. Itulah kenapa aku tidak terlalu
mau mendekat ke arahnya, karena jujur aku paling tidak bisa dijutekin padahal
aku enggak salah apapun. Lebih tepatnya paling tak suka. TAPI aku malah menelan
perkataanku sendiri, pada kenyataannya hanya Sofi seorang yang sampai sekarang
malah paling akrab denganku, dan paling dekat berada di sisiku.
Itu terjadi saat
kami memutuskan untuk satu kamar di kos an mantan kontrakan dahulu. Awalnya aku
sedikit tak nyaman kalau udah melihat Sofi memasang wajah bete tambah juteknya
yang udah nggak ketulungan, aku pun lebih memilih menjauh pergi dari kamar dan
mendekati Risma atau Dian yang ada di kamar sebelah. Karena seiring waktu
berlalu aku pun sudah terbiasa dengan kejutekan wajahnya, satu per satu baik
dia maupun aku sudah mulai terbuka satu sama lain. Bahkan semakin terbukanya,
hampir tak ada hal yang kami tutup-tutupi. Semuanya sudah telanjang bulat,
mulai hal kecil yang tak penting sampai urusan pribadi terutama hati kita
cerita blak-blakan. Ngasih saran yang ujung-ujungnya tak terpakai juga, tapi
setidaknya beban di hati kami bisa sedikit ternagkat dengan membanginya satu
sama lain.
Selain itu karena
ketidak pekaan yang udah bawaan dari lahir Sofi nggak pernah terlalu mikirin
hal-hal kecil yang tak ada hubungannya dengannya. Itu membuatku sedikit kagum,
ternyata ada juga orang seperti itu di dunia ini bahkan di hadapanku sekarang. Dia
orang yang bisa mengimbangi kebodohan diriku, terus orangnya paling sabar
ngadepin sikap kekanak-kanakanku kalau lagi kambuh dan menjadi orang P3K yang
siap kapanpun kalau aku lagi masuk angin untuk ku mintai kerokan.
“Eh? Beneran mulai
bulan depan kamu udah nggak nge kos di sini lagi?.” Aku menghentikan
pekerjaanku untuk sementara.
“Lah mau bagaimana
lagi Mah, aku di sini hanya menghabiskan uang bayar kos doang. Lagi pula aku
palingan bimbingan saja seminggu sekali. Nanti aku sempetin main ke sini kok,
tenang saja.” Suaranya terdegar begitu ringan
Dia tidak tahu
setelah kalimat itu meluncur darinya hatiku rasanya seperti ditikam orang,
sesak rasanya. “Kalau kamu pergi terus siapa nanti yang nemenin aku makan,
sudah nggak ada orang yang bisa ku mintai tolong lagi. Semuanya pegi disaat aku
mendekati kalian seperti ini. Ini sungguh nggak adil Sop!.” Entah dia
melihatnya atau tidak kala itu mataku sudah berkaca-kaca hampir menangis.
“Aku tuh nggak enak
minta uang ke orang tua terus. Di sini pun kerjaanku cuma tidur dan banyak
ngehabisin waktu aja. Kalau kamu masuk angin lagi kabari aku malemnya biar pagi
aku bisa dateng ke kos buat ngerokin, jangan mendadak aku nggak bisa langsung
dateng seperti kayak dulu lagi.” Kini pisaunya sudah mendarat di jantungku.
Tapi tak ada darah yang nampak.
“Hmmmm..” aku pun
hanya bergumam, kembali merunduk menatap layar laptop melanjutkan revisian.
Saat itu air mataku menetes dan langsung ku seka dengan punggung telapak tangan
kananku.
Aku tak tahu
kehilangan orang terdekat membuatku merasakan kehilangan sesuatu yang berharga
dari bagian tubuhku. Semuanya terasa menyakitkan dan aku sadar tak bisa berbuat
sesuatu. Ini keputusan yang sudah diambilnya, kalau aku melarangnya justru aku
akan menjadi teman ter-egois di dunia. Yang bisa ku lakukan hanya mendukung
keputusannya, terus mendo’akan dia baik-baik saja selama masa ngelaju dua jam
pp luar kota. Ku tunggu kamu di Tembalang dan kapan pun kamu mau pintu kamarku
akan selalu terbuka buatmu.
****
Halaman selanjutnya
kepingan kenanganku bersama si Mbah Ismi. Orang yang paling pasrah jika kena
pembully an anak lainnya, orang paling sabar, polos dan orang yang paling gigih
dalam segala hal. Maaf sepertinya tak banyak cerita yang bisa ku bagi tentangku
dengan Ismi. Kami jarang pergi bareng hanya sesekali bisa tatap muka dan bicara
empat mata jika ada agenda kumpul bareng. Tapi Ismi dan aku bisa cepat akrab
satu sama lain tanpa perlu proses yang panjang.
Meski waktuku
bersama Ismi cukup singkat, aku bisa sedikit mengerti sifat yang dimilikinya.
Dari sekian anak Partikel lainnya dia teman yang dewasa dan berfikiran terbuka
dengan segala hal. Jika ingin berbagi cerita atau hanya sekedar tanya pendapat
aku rasa dia adalah orang yang tepat untuk dijadikan sandaran dan pegangan
dikala kalian kehilangan arah. Karena Ismi orangnya sangat setia kawan. Dia tau
porsi saat berbicara serius, hanya sekedar bercanda dan dia pandai menempatkan
dirinya dimanapun ia berada. Aku rasa sosok Ismi yang ku kenal kurang lebih
seperti itu. Entah bagaimana dengan kalian yang lebih jauh mengenalnya daripada
diriku.
Dan aku juga
melihat Ismi masih sedikit canggung dengan beberapa anak yang ada di Partikel.
Dia masih menutup dirinya, itu terlihat ketika ia menyembunyikan keadaan
dirinya dari kita semua. Misalnya saja ketika dia sakit. Atau mungkin dia tidak
ingin merepotkan yang lainnya atau tak ingin membuat khawatir. Aku berharap
bisa tertular pemikiran dewasa yang dimiliki si Mbah Ismi.
“Jangan baper-baper
mbah. Lekas dapet pendamping untuk jadi si Mbah Kakungnya.” Senang bisa mengenalmu
Mik, atas segala canda tawanya selama ini cukup mengisi kekosongan dalam
diriku. Teruslah jadi si Mbah yang akan selalu membuatku kangen.
****
Kini sampai ke
kepingan terakhirku bersama adeknya Sofi soal muka jutek, tapi lebih tepatnya
dia si muka judes. Tapi kalau sudah mulai akrab dengannya ternyata Resti
orangnya sedikit cerewet dan mempunyai sisi kekanak-kanakan juga. Asalkan kita
yang memulai pembicaraan lalu memancingnya bercerita dia akan membuka mulutnya
untuk bicara semua hal tentangnya, keluarganya atau hal yang ingin kalian
ketahui. Tapi harus sabar itu kuncinya karena dia pantai merahasiakan sesuatu.
Aku sendiri tak bisa membaca pola pikirannya dengan baik, orangnya penuh kejutan dan bertindak sesuai
keinginan hatinya.
Padahal awal aku
kenal sosok Resti itu diem banget orangnya, sampai aku kebingungan mengajaknya
bicara mulai dari mana. Sempet canggung kalau diposisi harus bicara hanya
berdua dengannya, tapi semenjak aku pindah kos an dan sering keluar makan
bereng hal itu perlahan mulai pudar. Aku merasa dekat dengannya gara-gara
kebiasaan kita yang hampir sama, yaitu sama-sama suka nyari temen buat diajak
makan bareng.
Pernah suatu malam
aku lagi kelaparan, “Res, aku kok laper yaa?.”
“Mau nyari makan
yuk aku temenin, mumpung belum ngantuk sekalian ada sesuatu yang mau ku beli di
Indomaret.” Dia langsung ngejawab dengan cepat.
Padahal itu sudah
tengah malam tapi dia tetep nemenin aku beli makan nasi goreng di pinggir jalan
depan Indomaret dan yang luar biasa kamu jalan dari kos an. Sepanjang jalan
cerita sana-sini dan baru kali itu aku tau kalau ternyata Resti bisa ngelihat
makhluk selain manusia. Semua itu adalah hal terakhir yang ku habiskan
bersamanya sebelum dia akhirnya pulang ke kampung halamannya di Cilacap, dan
tidak akan bisa bertemu lagi dalam jangka waktu yang lama.
Waktu sungguh
kejam, di saat aku mulai mengenal sosoknya lebih jauh, lagi-lagi waktu harus memisahkan
kita. Bahkan aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal secara langsung di
hadapannya. Karena saat itu aku harus buru-buru pulang ke rumah sebab aku
mendapat kabar nenekku sudah tiada. Di dalam bis antara sedih kehilangan
nenekku atau aku akan berpisah dengan Resti. Perasaan itu bercampur aduk dan
terpaksa aku menahannya agar tak tumpah selama perjalanan. Tak terasa sekarang
sudah beberapa bulan aku tak melihatnya lagi. Bagaimana kabarmu sekarang di
sana? Aku kangen. Mungkin anak yang lainnya juga merasakan hal yang sama.
Terima kasih sudah menjadi partner cari makan di Tembalang, walaupun hanya
sebentar.
****
Semua itu adalah
penggalan kenanganku yang ku habiskan bersama kalian satu persatu. Mungkin bagi
beberapa orang tak ada yang spesial, namun bagiku itu adalah kenangan berharga
yang kumiliki dan tak akan bisa ku lupakan sampai kapanpun. Selain itu aku juga
ingin cerita tentang insiden kekunci di kontrakan beberapa tahun yang lalu.
Kalau kalian masih ingat dulu saat kita ada agenda makan bareng terus tak ada
satu pun diantara kita yang membawa kunci kontrakan. Alhasil sesampainya di
depan kontrakan pada cengok semua dan sampai panjat pagar masuknya. Terus
kesulitan ngambil kunci yang ada di dalam tasnya Risma.
“Ini habis makan
langung laper lagi gara-gara kejadian ini.” Celetuk salah satu anak (aku lupa
siapa namanya)
“Kejadian harus di
vidio in biar bisa dikenang.” Dila sudah mulai menyalakan ponselnya buat
ngerekam kejadian langka yang kekunci di luar kontrakan.
“Tadi aku juga
nggak kepikiran buat bawa kunci. Aku kira diantara kalian bakalan ada yang
bawa.” Jelasku sambil kesulitan menggapai tas memakai batang kayu.
“Iya aku juga
mikirnya bakalan ada yang bawa.” Emma menimpalinya.
Butuh perjuangan
sekitar 45menit untuk menggambil tasnya Risma. Dan segera setelah itu pintupun
bisa terbuka, lalu diantara kami pada kelelahan langsung terkapar di lantai.
Jika aku mengingat kejadian itu kadang membuatku ingin ketawa sekaligus
terheran-heran sendiri. Tak hanya insiden kekunci saja sebenarnya masih banyak
hal yang masih ku kenang hingga sekarang, sebut saja insiden banjir di lantai
dua yang membuat laptopnya Emma mati total, insiden celana merah yang berdiri
di depan gerbang, terus suara orang nyanyi di kamar mandi padahal nggak ada
orang di dalamnya. Dan peristiwa pemalakan yang dilakukan pada Resti, padahal
dia Cuma tidur dua malam di kontrakan tapi disuruh bayar full satu bulan. Terus
semua barangnya dipakai rame-rame. Ternyata kita kejam juga ya selama ini.
Kini semua kejadian
itu sudah kita lewatin, masing-masing dari kita mulai membangun kenangan baru
bersama orang lain dan di lingkungan baru. Aku hanya berharap jarak ini tidak
menjadi alasan kita untuk tetap berkomunikasi. Aku ingin tahu keadaan kalian, perubahan
kalian, dan kalau ada hal yang bisa ku bantu jangan sungkan untuk menghubungiku
kapanpun kalian mau. Aku rasa tak hanya diriku yang berfikir seperti itu,
diantara kalian semua juga merasa begitu bukan. Perpisahan? Aku rasa tak ada
yang menginginkannya. Tapi mau bagaimana lagi jika ada pertemua maka akan ada
kata perpisahan. Maaf jika kalimatku terlalu berlebihan dari awal sampai akhir,
ini hanyalah ungkapan perasaanku pada kalian. Sebab aku melakukan semua ini
karena aku menganggap kalian semua adalah bagian keluargaku yang sangat
penting. Jadi jangan pernah lupakan diriku begitu juga kenangan yang sudah kila
lalui bersama. Ini adalah cerita kita tentang kita semua. Kisah selanjutnya
kalian lah yang akan melanjutkannya.
Persahabatan sejati terdiri dari telinga yang mau mendengarkan, hati yang mau memahami, dan tangan yang siap menolong. -Frank Tyger-
-Sekian-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar