Senin, 05 Desember 2016

KIMI TACHI NO MONOGATARI



Ini cerita tentang diriku bersama kalian. Cerita sebelum pertemuan pertama, lalu waktu yang sudah kita habiskan bersama dengan canda tawa yang kan selalu ku kenang, hingga perpisahan panjang yang harus kita rasakan sampai sekarang. Mungkin ini bukanlah hal penting namun, aku harap sepucuk kalimat di sini bisa mengeluarkan sihir untuk mengobati hati kalian dikala rasa rindu itu muncul di hati kita masing-masing. Dan terus ingatlah bahwa dulu kita pernah bersama dalam sebuah keluarga kecil yang kalian namakan dengan ‘Partikel’.
Semuanya berawal dari sini....

“Semua barangmu sudah dimasukkan? Coba di cek sekali lagi nanti kalau ada yang ketinggalan lho Ma.”
“Sepertinya sih tak ada Man. Lagian barangku juga sedikit, kalaupun keselip satu pasti langsung ketahuan. Ya sudah yuk kita pergi sekalian aku mau pamitan sama mba kos kalau pindahannya hari ini.” Mengeluarkan semua barang dari kamar.
Kala itu bulan November 2013 di kontrakan BBB, di sana adalah pertemuan pertama kali bagi kita semua. Tak ku sangka pertemuan pertama yang biasa saja bisa berlanjut hingga tiga tahun menemaniku mewarnai kehidupanku di bumi rantau. Hal pertama yang masih ku ingat sampai sekarang adalah saat bertemu dengan Risma, awalnya kupikir dia anak perempuan yang cukup anggun dan baik. Hal itu terjadi saat aku bertemu dengannya di depan pintu gerbang kontrakan, kalau kalian masih ingat itu kejadiannya saat pertama kali kalian lagi beberes kontrakan sebelum dihuni dan aku datangnya telat, alhasil aku pun tak bantu sama sekali.  
Aku yang baru sampai di depan kontrakan, “Emm permisi perkenalkan aku Rochmah, anak yang bakal ngontrak bareng kalian.” Ku sapa seorang anak yang baru bersih-bersih di depan rumah. (setelah ku tahu dia namanya Risma)
“Iya naik aja, yang lainnya ada di atas.” Jawabnya dengan logat bahasa sedikit ngapak sambil tersenyum campur kebingungan.
“Baiklah. Terima kasih.” Langsung saja aku masuk dan naik ke lantai dua. Baru saja kakiku melangkah sampai tangga, terdengar suara ramai anak lainnya sedang bercakap-cakap dengan menggunakan bahasa Jawa.
Jujur saja waktu itu aku begitu gugup bertemu dengan kalian, karena sebelumnya aku  bahkan belum mengenal kalian begitu juga sebaliknya. Tapi aku tetap memberanikan diri untuk menyapa kalian dan memperkenalkan diriku di hadapan kalian. Syukurlah satu per satu dari kalian menyapaku dengan baik, begitu terbuka dengan diriku yang berasal dari jurusan berbeda dari kalian semua. Hal itu cukup membuatku senang.
Hari demi hari berlalu dengan perlahan namun terasa begitu cepat tanpa kita sadari.
Kalian pastinya merasakannya juga kan?.


****
Kita kembali dulu ke masa lalu saat kepindahanku ke kontrakan, aku pun mencoba menyesuaikan diriku dengan kalian atau lebih tepatnya bisa dibilang mengakrabkan diri dengan kalian satu per satu. Dan orang pertama yang mudah akrab denganku ternyata gadis yang pertama kali ku temui di depan gerbang kontrakan, tak lain adalah Risma yang baru ku tahu dia bukanlah perempuan yang anggun. Banyangan seperti itu sudah ku lempar jauh-jauh dari kepalaku dan kini berubah menjadi gadis ‘liar’ dengan suaranya yang melengking seperti toa kalau lagi bicara, dan suka kentut sembarangan. Akupun sedikit tertular dengan suara toanya dia.
Tapi Risma adalah temen melancong yang cukup menyenangkan. Potongan ingatanku yang masih tertinggal saat dulu kita pernah pergi ke Magelang hanya berdua dan posisi saat itu baru musim liburan tahun baru. Sudah kita bangunnya kesiangan, sempet nyasar gara-gara arahan google map, dan situasi semakin diperparah saat kita berdua sama-sama baru kena diare akibat makan kebanyakan setelah ngerayain malam tahun baru di kontrakan yang hanya berdua saja. Itu adalah salah satu hal gila yang pernah ku lakukan bersamanya, meskipun masih ada banyak kejadian lagi.
Dan Risma itu orang yang paling berisik kalau pas ngadepin diriku kalau lagi keluar keras kepalanya. Misalnya ketika diriku sakit. “Kamu tuh paling tua sendiri diantara kita. Tapi paling bandel sendiri kalau dibilangin, terserah kamu lah yang penting udah ku ingetin. Nanti kalau ada apa-apa salahinnya dirimu sendiri lho ya!”. Naruh obat di samping tempat tidurku lalu pergi kembali ke kamarnya.
“Lah kok malah pergi sih, Ris”. Kalau udah ngelihat dia kaya gitu, ngebuatku merasa bersalah. Seketika aku menelan obat yang dikasihnya supaya anemiaku tak semakin parah.
Selamat menjalani kehidupan yang baru di Ibu kota sana Ris. Dan semakin menjadi anak hits, teruslah semangat. Sekarang  aku sudah bisa menjaga kesehatanku sendiri kok.
****
Kenangan selanjutnya yang ku alami bersama Suci atau nama familiar yang sering ku sebut dengan Uchika. Entah kenapa nama panggilannya bisa berubah seperti itu, ku rasa jika dipanggil Uchika terdengar sedikit lucu karena ternyata eh ternyata dari semua anak Partikel yang lainnya dia mempunyai hobby yang sama denganku. Sukanya nonton film Anime.
Mungkin dari satu hobby yang sama bisa membuatku mudah akrab dengannya, aku nggak tau jika seandainya kami tak ada kesamaan hobby bagaimana caranya untuk mendekatinya. Uchi itu orangnya sangat pendiam saat pertama kali ku kenal. Selain itu soal jadwal tidur dia pasti yang paling rajin dan paling awal waktu. Tak pernah telat sama sekali.
“Jam segini Uchi udah tidur?!”. Pernah suatu waktu aku dibikin terheran-heran karena baru jam sembilan dia udah tidur pules, dengan tubuh yang ditutupin selimut warna kuning kesayangannya. Padahal yang lainnya masih kumpul di ruang tengah.
“Dari kita semua dia itu tidurnya yang paling gasik, mah.” Sahut anak lainnya.
Meskipun dia tidurnya paling cepat itu yang membuat dia bangunnya paling pagi dari kita semua. Dengan kata lain dia anak yang rajin, pagi-pagi sudah beberes kamar, mandi paling cepet, dan nyiapin makanan untuk sarapan walaupun terkadang hanya mie instant. Uchika orangnya nggak bisa makan panas, alhasil sehabis dia membuat mie instant langsung dibiarkan begitu aja beberapa saat dan ia tinggal ngerjain hal yang lainnya.
“Sepagi ini siapa yang sudah bikin mie instant sih, ngebuatku kelaparan.” Terkadang aoroma mie instant yang dibuatnya sampai masuk ke kamarku, meskipun aku masih dalam keadaan terlentang. Sudah bangun tapi malas beranjak dari kasur.
Selain itu, Uchika adalah temen yang paling hangat saat diajak berbagi cerita. Terlebih aku sering kebingungan mau cerita sesuatu ke anak Partikel yang lainnya takut kalau jatuhnya malah diriku yang dibully. Dan aku lebih memilih mendekati Uchi untuk berbagi cerita, karena dia bisa mengimbangiku saat aku curhat dan memberiku masukan yang lebih masuk akal. Beberapa kali aku menceritakan masa laluku padanya, delunya aku seperti apa atau ada saat-saat yang pingin ku lupakan di masa laluku. Dia rela mendengarkannya walau waktu semakin larut malam dan aku merenggut jatah tidurnya. Terima kasih banyak untuk semuanya Chika.
****
Selanjutnya beralih ke sosok yang paling besar tapi sifatnya yang paling anak-anak dari anak Partikel lainnya. Si Dian yang badannya paling sering ku tempeli dan kupeluki, suka minumnya susu Ultra Mimi (padahal itu susu untuk usia anak 6-12th), keras kepala banget kalau sudah punya pendapat suatu hal sulit untuk dirubah terkadang aku sendiri kalau udah debat sama dia sampai hampir kepancing emosi dan akhirnya milih ngalah.
Dian itu juga temen yang sangat peduli, entah itu karena dia perhatian atau hanya merasa kasihan. Jika aku lupa makan karena terlalu sibuk kegiatan organisasi, dia sampai nyuapinku makan meski sedikit memaksa, terkadang juga membuatku makanan lalu menyuruhku menghabiskannya. Jujur baru kali ini aku menemukan teman seperti Dian, banyak hal yang berbeda dari kita berdua sampai membuat jengkel masing-masing pihak, tapi entah kenapa aku nggak bisa membencinya malah makin nggak rela lepas darinya. Itu yang membuatku kangen dengan sosok Dian.
“Lho kamu kenapa Di?”. Suatu hari ketika ia datang ke kos Bidadari dan tiba-tiba memelukku dari belakang ketika aku sedang masak di dapur buat nyiapin makanan buka puasa.
“Enggak apa-apa kok, cuma kangen.” Sebentar kemudian dia melepas pelukannya. Raut mukanya terlihat sedih saat itu.
“Kenapa? Mau cerita sesuatu?,” sambil mengecilkan api kompor, “Gimana tadi kelayakknya? Lancar kan.” Sesaat wajahnya berubah memerah lalu mulai menangis. Aku sepertinya menginjak ranjau yang langsung mengeluarkan ledakan besar ‘boom’, dan aku rasa saat itu Dian memang harus menangis dia sudah menehannya selama beberapa jam paska kelayakan yang ku tahu pasti tidak berjalan sesuai keinginannya. Aku hanya menyuruhnya untuk sholat supaya bisa sedikit tenang dan kalau bisa dia mengeluarkan semua air matanya supaya tidak nyesek lagi. Selain kejadian itu ternyata Dian juga punya sisi sensitif lainnya, tapi aku tidak bisa menanyakannya secara langsung hanya membiarkannya suatu saat jika dia mau terbuka padaku dan cerita panjang lebar aku siap menjadi ‘pelacur’ (pelabuhan curhat) buatnya. Aku hanya menunggu waktu itu tiba entah sampai kapan.
****
Sosok selanjutnya yang akan ku ceritakan adalah patner pertamaku ketika menjalani kehidupan baru di kontrakan. Orang yang tomboy abis tapi selama berlalunya waktu sosoknya kini berubah menjadi perempuan yang feminin. Si Emma oarang yang selalu enggak kehabisan pokok pembahasan untuk dibicarakan. Sampai aku pun ada semboyan sendiri buat dia, ‘Tak ada sosok dirimu, Tak ramai Ems’. Orangnya memang mudah bergaul dari lahirnya, jadi siapapun ku pikir bisa mudah akrab dengannya.
Kalau diingat-ingat kenangan konyol yang ku alami bersamanya saat kita masih berdua saja di kontrakan. Terus mendengar suara orang menggeser gerbang, seketika kami berdua jadi parno kalau ada sesuatu yang tak diinginkan. Alhasil kami berdua menghabiskan malam pertama itu buat ngobrol panjang lebar di pintu dekat tangga. Dan aku rasa semenjak itu anak-anak yang lainnya memasang mmt yang gede banget di depan gerbang untuk menutupinya agar tak terlihat dari luar. Niat sekali mereka itu dan luar bisa lah pokoknya.
Selain itu sosok Emma yang selalu mudah sekali panik, kalau dia sudah bilang kayak gini, “Eh gimana dong... Aku takut... Eh gimana kalau nanti begini-begini atau bala-bala yang lainnya.”
Anak-anak langsung responnya, “Sudahlah Ems nggak apa-apa yang penting di coba dulu. Atau saran lainnya yang lebih ekstrim. Lah terus maunya kamu gimana Ems?.”
Karena sudah tahu sifat Emma yang cepat panik seperti itu ngebuat anak yang lainnya mulai terbiasa sendiri seiring waktu berjalan. Dan hanya bisa meresponnya dengan tidak terbawa kepanikan yang dilakukannya. Selain itu dia orangnya menyukai sesuatu yang anti mainstrem dari orang lain sukai, misalnya pilihan aliran musik atau soal fashion. Hal itu yang kupikir unik dari sosok Emma yang ku kenal.
Meskipun aku jarang berbagi cerita dengan Emma secara empat mata. Tapi seitap kali aku meminta saran atau pendapat dia langsung memeberiku saran yang logis, mengena, dan sangat jujur sesuai dengan pemikiran yang ada di kepala kecilnya itu. Karena dia tipe orang yang selalu berfikir relistis tak suka mengada-ada, inilah yang paling ku sukai dari kepribadian Emma. Mungkin masih ada hal lainnya lagi yang belum aku keketahui tentang dia. Next time aku akan mencoba mengenal dia lebih baik lagi, semoga saja kami bisa dipertemukan kembali di kehidupan dewasa kami yang jauh berbeda saat masih mahasiswa.
****

Jika mendengar nama Dila dan Dwi, yang terlintas di kepalaku adalah mereka orangnya sama-sama ceriwis, suka ngomong panjang lebar. Itulah kenapa saat mereka dipertemukan dan kalau sudah ngobrol bareng berasa punya dunia mereka masing-masing. Bahkan aku pun tidak bisa mendekat bahkan masuk dalam pembicaraan mereaka, karena akupun nggak tau harus nyela pembicaraannya di sebelah mana. Akhirnya aku pun menjauh dan lebih mendekati anak lainnya yang sedang sendirian.
Aku mengenal Dwi karena memang kami berdua satu jurusan dan beberapa kali dipertemukan dalam satu kelas yang sama. Karena dia aku pun bisa mengenal kalian, Dwi adalah tali merah dan alasan dari segala hal yang ku alami bersama kalian. Meskipun tidak banyak hal yang kami tahu dari masing-masing kepala, hanya saja dia orangnya dewasa walau usianya paling kecil dari kami semua. Hanya saja dia terlihat diam di beberapa kesempatan, namun sebenarnya dia selalu memperhatikan kita dalam kediamannya itu. Dia justru merasa paling jauh sendiri dan sangat ingin dekat dengan yang lainnya. Tapi keadaan berbeda yang membuatnya hanya bisa tersenyum dan ketawa jika memang situasinya seperti itu.
Kami pernah berbicara empat mata saat di perpus, “Entahlah Mah, aku merasa paling jauh sendiri dari yang lainnya. Jika kalian masih bisa kumpul meski hanya makan bareng, tapi kamu tahu sendiri kan aku saja nggak ada kendaraan dan sekarang melencing sendiri di rusun.” Raut mukanya sedikit sedih dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Sudahlah Wi, kita kalau ada agenda kumpul bareng pasti akan mengabari kamu kok. Dan kalau misal diantara kami pas makan bareng itu jujur tidak pernah kita rencanakan sebelumnya, semuanya serba dadakan.” Jelasku dengan perasaan sedikit bersalah.
Kini aku tahu ternyata Dwi menganggap kalian sangat berarti dalam hidupnya. Terlihat saat ia menitihkan mata karena tidak bisa menghabiskan banyak waktu bersama anak Partikel. Maka sekarang aku tanya, bagaimana sosok Dwi di mata kalian? Dan yang bisa menjawabnya hanyalah kalian sendiri.
Kalau tentang Dila, tak banyak hal yang bisa ku ceritakan. Bisa dibilang kami terkadang dekat atau bahkan tidak begitu dekat. Entahlah, semenjak dia memutuskan ‘ngelaju’ aku bahkan seperti kehilangan kontak dengannya. Padahal sebelumnya aku dengan Dila bisa menghabiskan banyak waktu bersama untuk ngobrol bareng, karena dia orangnya terlalu ingin tahu makanya aku pun ceritanya jadi panjang lebar. Terlebih lagi selera humor kita hampi sama itulah yang membuatku nyaman bicara berdua saja dengannya.
Tapi semakin berlalunya waktu, sosok Dila semakin pudar di dalam ingatanku. Kami tak bisa bercanda seperti dulu lagi. Aku merasa Dila yang sekarang mudah terbawa perasaan, maka dari itu aku pun mulai menjaga ucapanku, memasang pedal rem saat aku bicara agar tidak menyinggung perasaannya. Tau sendiri kadang kalau aku ngomong suka nyeplos dan tak beraturan pola kalimatnya. Setidaknya dalam hatiku terdalam, aku berterima kasih pada Dila sudah memberiku kesempatan untuk mengenal sosoknya, walaupun tak banyak dia sudah mau berbagi tempat duduknya denganku agar aku mudah bergabung dengan keluarga Partikel.
****
Saat pertama kali aku melihat sosok Sofi yang terlintas hanyalah si muka jutek, nyeremin, hingga aku berfikir tidak akan bisa akrab dengannya. Itulah kenapa aku tidak terlalu mau mendekat ke arahnya, karena jujur aku paling tidak bisa dijutekin padahal aku enggak salah apapun. Lebih tepatnya paling tak suka. TAPI aku malah menelan perkataanku sendiri, pada kenyataannya hanya Sofi seorang yang sampai sekarang malah paling akrab denganku, dan paling dekat berada di sisiku.  
Itu terjadi saat kami memutuskan untuk satu kamar di kos an mantan kontrakan dahulu. Awalnya aku sedikit tak nyaman kalau udah melihat Sofi memasang wajah bete tambah juteknya yang udah nggak ketulungan, aku pun lebih memilih menjauh pergi dari kamar dan mendekati Risma atau Dian yang ada di kamar sebelah. Karena seiring waktu berlalu aku pun sudah terbiasa dengan kejutekan wajahnya, satu per satu baik dia maupun aku sudah mulai terbuka satu sama lain. Bahkan semakin terbukanya, hampir tak ada hal yang kami tutup-tutupi. Semuanya sudah telanjang bulat, mulai hal kecil yang tak penting sampai urusan pribadi terutama hati kita cerita blak-blakan. Ngasih saran yang ujung-ujungnya tak terpakai juga, tapi setidaknya beban di hati kami bisa sedikit ternagkat dengan membanginya satu sama lain.
Selain itu karena ketidak pekaan yang udah bawaan dari lahir Sofi nggak pernah terlalu mikirin hal-hal kecil yang tak ada hubungannya dengannya. Itu membuatku sedikit kagum, ternyata ada juga orang seperti itu di dunia ini bahkan di hadapanku sekarang. Dia orang yang bisa mengimbangi kebodohan diriku, terus orangnya paling sabar ngadepin sikap kekanak-kanakanku kalau lagi kambuh dan menjadi orang P3K yang siap kapanpun kalau aku lagi masuk angin untuk ku mintai kerokan.
“Eh? Beneran mulai bulan depan kamu udah nggak nge kos di sini lagi?.” Aku menghentikan pekerjaanku untuk sementara.
“Lah mau bagaimana lagi Mah, aku di sini hanya menghabiskan uang bayar kos doang. Lagi pula aku palingan bimbingan saja seminggu sekali. Nanti aku sempetin main ke sini kok, tenang saja.” Suaranya terdegar begitu ringan
Dia tidak tahu setelah kalimat itu meluncur darinya hatiku rasanya seperti ditikam orang, sesak rasanya. “Kalau kamu pergi terus siapa nanti yang nemenin aku makan, sudah nggak ada orang yang bisa ku mintai tolong lagi. Semuanya pegi disaat aku mendekati kalian seperti ini. Ini sungguh nggak adil Sop!.” Entah dia melihatnya atau tidak kala itu mataku sudah berkaca-kaca hampir menangis.
“Aku tuh nggak enak minta uang ke orang tua terus. Di sini pun kerjaanku cuma tidur dan banyak ngehabisin waktu aja. Kalau kamu masuk angin lagi kabari aku malemnya biar pagi aku bisa dateng ke kos buat ngerokin, jangan mendadak aku nggak bisa langsung dateng seperti kayak dulu lagi.” Kini pisaunya sudah mendarat di jantungku. Tapi tak ada darah yang nampak.
“Hmmmm..” aku pun hanya bergumam, kembali merunduk menatap layar laptop melanjutkan revisian. Saat itu air mataku menetes dan langsung ku seka dengan punggung telapak tangan kananku.
Aku tak tahu kehilangan orang terdekat membuatku merasakan kehilangan sesuatu yang berharga dari bagian tubuhku. Semuanya terasa menyakitkan dan aku sadar tak bisa berbuat sesuatu. Ini keputusan yang sudah diambilnya, kalau aku melarangnya justru aku akan menjadi teman ter-egois di dunia. Yang bisa ku lakukan hanya mendukung keputusannya, terus mendo’akan dia baik-baik saja selama masa ngelaju dua jam pp luar kota. Ku tunggu kamu di Tembalang dan kapan pun kamu mau pintu kamarku akan selalu terbuka buatmu.
****
Halaman selanjutnya kepingan kenanganku bersama si Mbah Ismi. Orang yang paling pasrah jika kena pembully an anak lainnya, orang paling sabar, polos dan orang yang paling gigih dalam segala hal. Maaf sepertinya tak banyak cerita yang bisa ku bagi tentangku dengan Ismi. Kami jarang pergi bareng hanya sesekali bisa tatap muka dan bicara empat mata jika ada agenda kumpul bareng. Tapi Ismi dan aku bisa cepat akrab satu sama lain tanpa perlu proses yang panjang.
Meski waktuku bersama Ismi cukup singkat, aku bisa sedikit mengerti sifat yang dimilikinya. Dari sekian anak Partikel lainnya dia teman yang dewasa dan berfikiran terbuka dengan segala hal. Jika ingin berbagi cerita atau hanya sekedar tanya pendapat aku rasa dia adalah orang yang tepat untuk dijadikan sandaran dan pegangan dikala kalian kehilangan arah. Karena Ismi orangnya sangat setia kawan. Dia tau porsi saat berbicara serius, hanya sekedar bercanda dan dia pandai menempatkan dirinya dimanapun ia berada. Aku rasa sosok Ismi yang ku kenal kurang lebih seperti itu. Entah bagaimana dengan kalian yang lebih jauh mengenalnya daripada diriku.
Dan aku juga melihat Ismi masih sedikit canggung dengan beberapa anak yang ada di Partikel. Dia masih menutup dirinya, itu terlihat ketika ia menyembunyikan keadaan dirinya dari kita semua. Misalnya saja ketika dia sakit. Atau mungkin dia tidak ingin merepotkan yang lainnya atau tak ingin membuat khawatir. Aku berharap bisa tertular pemikiran dewasa yang dimiliki si Mbah Ismi.
“Jangan baper-baper mbah. Lekas dapet pendamping untuk jadi si Mbah Kakungnya.” Senang bisa mengenalmu Mik, atas segala canda tawanya selama ini cukup mengisi kekosongan dalam diriku. Teruslah jadi si Mbah yang akan selalu membuatku kangen.
****
Kini sampai ke kepingan terakhirku bersama adeknya Sofi soal muka jutek, tapi lebih tepatnya dia si muka judes. Tapi kalau sudah mulai akrab dengannya ternyata Resti orangnya sedikit cerewet dan mempunyai sisi kekanak-kanakan juga. Asalkan kita yang memulai pembicaraan lalu memancingnya bercerita dia akan membuka mulutnya untuk bicara semua hal tentangnya, keluarganya atau hal yang ingin kalian ketahui. Tapi harus sabar itu kuncinya karena dia pantai merahasiakan sesuatu. Aku sendiri tak bisa membaca pola pikirannya dengan baik,  orangnya penuh kejutan dan bertindak sesuai keinginan hatinya.
Padahal awal aku kenal sosok Resti itu diem banget orangnya, sampai aku kebingungan mengajaknya bicara mulai dari mana. Sempet canggung kalau diposisi harus bicara hanya berdua dengannya, tapi semenjak aku pindah kos an dan sering keluar makan bereng hal itu perlahan mulai pudar. Aku merasa dekat dengannya gara-gara kebiasaan kita yang hampir sama, yaitu sama-sama suka nyari temen buat diajak makan bareng.
Pernah suatu malam aku lagi kelaparan, “Res, aku kok laper yaa?.”
“Mau nyari makan yuk aku temenin, mumpung belum ngantuk sekalian ada sesuatu yang mau ku beli di Indomaret.” Dia langsung ngejawab dengan cepat.
Padahal itu sudah tengah malam tapi dia tetep nemenin aku beli makan nasi goreng di pinggir jalan depan Indomaret dan yang luar biasa kamu jalan dari kos an. Sepanjang jalan cerita sana-sini dan baru kali itu aku tau kalau ternyata Resti bisa ngelihat makhluk selain manusia. Semua itu adalah hal terakhir yang ku habiskan bersamanya sebelum dia akhirnya pulang ke kampung halamannya di Cilacap, dan tidak akan bisa bertemu lagi dalam jangka waktu yang lama.
Waktu sungguh kejam, di saat aku mulai mengenal sosoknya lebih jauh, lagi-lagi waktu harus memisahkan kita. Bahkan aku belum sempat mengucapkan selamat tinggal secara langsung di hadapannya. Karena saat itu aku harus buru-buru pulang ke rumah sebab aku mendapat kabar nenekku sudah tiada. Di dalam bis antara sedih kehilangan nenekku atau aku akan berpisah dengan Resti. Perasaan itu bercampur aduk dan terpaksa aku menahannya agar tak tumpah selama perjalanan. Tak terasa sekarang sudah beberapa bulan aku tak melihatnya lagi. Bagaimana kabarmu sekarang di sana? Aku kangen. Mungkin anak yang lainnya juga merasakan hal yang sama. Terima kasih sudah menjadi partner cari makan di Tembalang, walaupun hanya sebentar.
****
Semua itu adalah penggalan kenanganku yang ku habiskan bersama kalian satu persatu. Mungkin bagi beberapa orang tak ada yang spesial, namun bagiku itu adalah kenangan berharga yang kumiliki dan tak akan bisa ku lupakan sampai kapanpun. Selain itu aku juga ingin cerita tentang insiden kekunci di kontrakan beberapa tahun yang lalu. Kalau kalian masih ingat dulu saat kita ada agenda makan bareng terus tak ada satu pun diantara kita yang membawa kunci kontrakan. Alhasil sesampainya di depan kontrakan pada cengok semua dan sampai panjat pagar masuknya. Terus kesulitan ngambil kunci yang ada di dalam tasnya Risma.
“Ini habis makan langung laper lagi gara-gara kejadian ini.” Celetuk salah satu anak (aku lupa siapa namanya)
“Kejadian harus di vidio in biar bisa dikenang.” Dila sudah mulai menyalakan ponselnya buat ngerekam kejadian langka yang kekunci di luar kontrakan.
“Tadi aku juga nggak kepikiran buat bawa kunci. Aku kira diantara kalian bakalan ada yang bawa.” Jelasku sambil kesulitan menggapai tas memakai batang kayu.
“Iya aku juga mikirnya bakalan ada yang bawa.” Emma menimpalinya.
Butuh perjuangan sekitar 45menit untuk menggambil tasnya Risma. Dan segera setelah itu pintupun bisa terbuka, lalu diantara kami pada kelelahan langsung terkapar di lantai. Jika aku mengingat kejadian itu kadang membuatku ingin ketawa sekaligus terheran-heran sendiri. Tak hanya insiden kekunci saja sebenarnya masih banyak hal yang masih ku kenang hingga sekarang, sebut saja insiden banjir di lantai dua yang membuat laptopnya Emma mati total, insiden celana merah yang berdiri di depan gerbang, terus suara orang nyanyi di kamar mandi padahal nggak ada orang di dalamnya. Dan peristiwa pemalakan yang dilakukan pada Resti, padahal dia Cuma tidur dua malam di kontrakan tapi disuruh bayar full satu bulan. Terus semua barangnya dipakai rame-rame. Ternyata kita kejam juga ya selama ini.


Kini semua kejadian itu sudah kita lewatin, masing-masing dari kita mulai membangun kenangan baru bersama orang lain dan di lingkungan baru. Aku hanya berharap jarak ini tidak menjadi alasan kita untuk tetap berkomunikasi. Aku ingin tahu keadaan kalian, perubahan kalian, dan kalau ada hal yang bisa ku bantu jangan sungkan untuk menghubungiku kapanpun kalian mau. Aku rasa tak hanya diriku yang berfikir seperti itu, diantara kalian semua juga merasa begitu bukan. Perpisahan? Aku rasa tak ada yang menginginkannya. Tapi mau bagaimana lagi jika ada pertemua maka akan ada kata perpisahan. Maaf jika kalimatku terlalu berlebihan dari awal sampai akhir, ini hanyalah ungkapan perasaanku pada kalian. Sebab aku melakukan semua ini karena aku menganggap kalian semua adalah bagian keluargaku yang sangat penting. Jadi jangan pernah lupakan diriku begitu juga kenangan yang sudah kila lalui bersama. Ini adalah cerita kita tentang kita semua. Kisah selanjutnya kalian lah yang akan melanjutkannya.


Persahabatan sejati terdiri dari telinga yang mau mendengarkan, hati yang mau memahami, dan tangan yang siap menolong. -Frank Tyger-


-Sekian-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar