“Silahkan Tuan,
saya akan bantu membawakan barang anda.” Salah seorang penyedia jasa menawarkan
bantuan pada salah seorang penumpang kapal yang sepertinya membawa barang
bawaan cukup berat.
Suara riuh bagaikan
gerombolan lebah yang bermigrasi, situasi yang serupa terjadi di dermaga yang semakin ramai dan terlihat
kesibukan dimana-mana. Tak hanya penumpang dari kapal penyeberangan yang
memenuhi bibir dermaga, sore itu kapal barang juga lagi sibuk-sibuknya
menurunkan seluruh isi bawaannya. Puluhan pekerja berat mengangkut karung yang
berisi rempah-rempah atau pun bahan makan lainnya.
Seorang laki-laki
yang nampak masih muda baru keluar dari kapal penyeberangan, dengan membawa tas
ransel dipunggungnya dan menenteng koper berukuran sedang di tangan kirinya.
Wajahnya nampak asing berada di tempat yang baru ia datangi untuk pertama
kalinya.
“Tuan muda” sapa
seorang penyedia jasa padanya, “Apa anda butuh bantuan? Nampaknya anda baru
pertama kali datang ke sini.” Tebaknya.
“Iya ini pertama
kalinya saya datang ke sini dan saya ingin menuju ke alamat ini” sambil
memberikan lembaran kertas yang bertuliskan sebuah alamat, “Apa anda bisa
mengantarkan saya ke sana?”
“Ah.. ini bukankah
rumahnya tabib? tempatnya tak jauh dari sini. Saya akan mengantarkan anda,
kendaraan saya ada di sebelah sana biar saya bantu membawakan barang anda.”
Membawa koper milik pemuda itu lalu menuju kendaraan yang terparkir tak jauh
dari bibir dermaga.
“Terima kasih
banyak.” Mengikuti di belakangnya.
Sekali lagi
terdengar dentuman sirine yang memekik keras dan perlahan kapal penyeberangan
merangkak menjauh dari bibir dermaga. Tenggelam bersama matahari yang terbalut
dengan warna jingganya langit sore. Terlihat di atas mercusuar nampak seorang
gadis yang sedang berdiri memandangi arah kepergian kapal.
Dengan penasaran
pemuda itu pun bertanya, “Apa yang sedang dia lakukan di atas sana?”
Penyedia jasa
menjawab, “Dia sedang menunggu sebuah kapal.”
“Kapal? Kenapa dia
harus menunggunya di sana?” pemuda itu terus saja bertanya.
“Saya sendiri juga
tidak tahu alasannya kenapa, tapi rumor yang saya dengar dia hanya akan
menunggu kedatangan kapal ketika hari sudah menjelang senja. Itulah kenapa
orang-orang menjulukinya gadis senja.” Jelas panjang lebar sang penyedia jasa
itu.
“Senja. Nama yang
cukup indah” gumam pemuda itu dengan pelan.
Picture from google.com
Pemuda itu sekali
lagi memandangi ke arah mercusuar yang hanya memperlihatkan siluet bayangan
gadis senja dari kejauhan. Rambut panjang yang dibiarkannya tergerai tertiup
angin membuat wajah gadis senja nampak tak begitu jelas. Kendaraan yang
ditumpangi pemuda itu semakin menjauhi dermaga dan meninggalkan rasa penasaran
akan gadis senja yang masih berdiri di atas mercusuar memandang kepergian kapal
hingga tak terlihat lagi wujudnya. Hari pun perlahan mulai gelap.
“Mungkin ruangannya
sedikit sempit jangan samakan dengan kehidupan di ibu kota, tapi ini bisa kau
gunakan untuk istirahat dan cukup nyaman. Pasti perjalanan menuju ke sini cukup
melelahkan bukan?”. Ia tersenyum ke arah pemuda itu, “istirahatlah malam ini
besok pagi-pagi kita bisa mulai kelilingi tempat ini. Saya permisi dulu”.
Seorang tabib perempuan yang mulai memasuki usia enam puluhan itu beranjak
pergi.
“Terima kasih
banyak, Nek.” Ucap pemuda itu dengan sedikit kaku.
Langkah kaki sang
tabib terhenti seketika lalu memandang pemuda itu sekali lagi, “kau bisa
memanggilku Ibu, meskipun kelihatannya tubuh ini sudah tua tapi aku belum
pernah punya anak. Jadi siapapun yang tinggal di sini sudah ku anggap sebagai
anak sendiri.” Dia sepertinya sedikit tersinggung dengan ucapan sang pemuda.
“Oh iya namamu siapa wahai anak muda?” ia bertanya
“Karang.. anda bisa
memanggil saya Arang”. Jawab sang pemuda dan ia pun menyesali atas ucapannya
tadi.
“Hmm.. akan selalu
ku ingat namamu, silahkan istirahatlah.” Beranjak pergi
“Baik.”
Keesokan harinya
Arang mengeliling kelinik tempat pengobatan sang tabib. Selama masa pengenalan
Arang masih sedikit canggung dengan orang-orang di lingkungan barunya. Maklum
karena ini baru pertama kalinya ia menjalankan kerja praktik di sebuah kota
kecil yang tak banyak orang ketahui. Terlebih lagi di kota kecil ini orang-rangnya
masih mempercayai pengobatan tradisional, ia tidak tahu ilmu kedokteran yang
sudah dipelajarinya selama perkuliahan bisa ia terapkan dengan baik apa tidak.
Itulah kecemasan yang ia rasakan ketika pertama kali datang ke sini.
Arang kini duduk di
beranda termenung sendirian.
“Anak semuda kamu
tak baik melamun sendirian.” Tabib mendekatinya dan memberikan sekaleng minuman
dingin pada Arang.
“Ah Ibu.. terima
kasih.” Arang jadi kebingungan, “Saya hanya..” kalimatnya terhenti
“Kalau begitu bisa
kita lanjutkan kelilingnya? Masih ada bangsal rawat inap untuk anak-anak yang
belum kamu lihat.” Tabib itu berdiri diikuti anggukan kepala dari Arang tanda
ia mengiyakan ajakannya. Arang berjalan di samping sang Tabib, kedua tangannya
menggenggam minuman yang tadi diberikan kepadanya.
Disituasi lainnya
nampak seorang anak perempuan sedang menagis kesakitan, lalu datang seorang gadis
muda menenangkan tangisan anak kecil itu. “Kanya apa yang terjadi?” tanya gadis
muda itu.
“Kanya tadi
terjatuh setelah mengambilkan boneka saya dari atas lemari kak.” Anak kecil
satunya menjelaskan dengan raut muka penuh khawatir atau mungkin merasa bersalah.
Gadis muda itu
tersenyum hangat, “coba kakak lihat yang luka bagian mana?” ia memeriksa badan
anak kecil itu. “Ah ternyata lututnya tergores, sini kakak akan menyembuhkannya
dengan sihir agar cepat sembuh.”
“Sihir?” tangisnya
terhenti kini mata sembabnya memandang ke arah gadis muda yang ada di
hadapannya.
“Kakak akan memberi
tahu mantranya, tapi dengan syarat ini adalah rahasia kita jangan sampai orang
lain tau. Husssh..” anak kecil itu mengangguk menyetujui, “Pergi kau rasa
sakit, pergi kau jauh dariku, huuh.. huuh”. Ia meniupi luka anak kecil itu lalu
memasang sebuah plester agar lukanya tidak infeksi.
“Nah sekarang sudah
selesai, Kanya tidak boleh nagis lagi. Nanti kalau Ibu lihat dia pasti ikut
sedih. Ini kakak ada permen buat kamu satu dan satu lagi buat Dinda.”
“Terima kasih Kak
Niwa”. Ucap kedua anak kecil itu bersamaan.
Diluar ruangan
ternyata sudah ada Arang dan Tabib yang memperhatikan kejadian di dalam sana.
“Kau lihat gadis muda itu,” Tabib memandang ke arah Niwa. “Dia sering datang ke
sini untuk menyapa anak-anak yang sakit itu dan mengajak mereka bermain agar
mereka bisa melupakan rasa sakit yang mereka derita. Sungguh di dalam dirinya
dikaruniai hati malaikat oleh Tuhan. Walau sebenarnya ia sendiri mengalami rasa
sakit yang jauh lebih dalam.” Menghela nafas sebelum ia melanjutkan kalimatnya.
“Sejak Niwa berusia
sepuluh tahun ia sudah ditinggal oleh Ayahnya pergi berlayar ke lautan. Kala
itu Ayahnya sudah berjanji pada Niwa akan kembali lagi pada bulan berikutnya
sebelum matahari tenggelam. Niwa kecil yang selalu menantikan kedatangan
Ayahnya hingga membuatnya pergi ke dermaga seorang diri ketika senja datang dan
menunggunya berjam-jam di mercusuar. Bukan bulan seperti yang dijanjikan
Ayahnya, sudah bertahun-tahun Niwa melakukan hal yang sama selama sepuluh tahun
ini hingga usianya beranjak dewasa. Namun sosok Ayah yang dinantinya tak pernah
kunjung datang.
“Karena itulah
orang-orang yang di dermaga selalu memanggil Niwa dengan sebutan Gadis Senja.”
Sekali lagi Tabib itu menghela nafas lebih dalam dan panjang.
“Gadis senja?”
Arang mencoba mengingat sesuatu lalu memandang ke arah Niwa.
“Iya mungkin ketika
kedatanganmu ke sini pasti kamu juga melihatnya di atas mercusuar sana. Dan
mendengar cerita dari orang-orang di dermaga, tapi kebanyakan dari mereka tak
tahu alasan sebenarnya kenapa Niwa melakukan hal yang sama berulang kali selama
sepuluh tahun tanpa telat dan absen sekalipun.”
Arang menganggukkan
kepala.
Sang Tabib
melanjutkan ceritanya, “Selain itu setahun yang lalu Ibunya Niwa jatuh pingsan
di tempat kerjanya hingga membuatnya tak sadarkan diri. Kami tak bisa berbuat
banyak untuk menyembuhkannya, seperti yang kamu lihat di klinik ini kami hanya
menggunakan obat tradisional dan tak ada dokter yang bisa kami andalkan di
sini. Satu-satunya pilihan adalah memindahkannya ke ibu kota. Tapi dana yang
dibutuhkan cukup besar, hingga membuat Niwa menawarkan dirinya untuk membantu
pekerjaan di klinik dengan harapan gaji yang didapat bisa ia gunakan untuk
membawa ibunya ke ibu kota.
“Ia pun tak pernah
melupakan rutinitasnya pergi ke dermaga ketika senja datang untuk menanti kepulangan
Ayahnya. Dan harapan kecilnya untuk berjumpa dengan pria itu tak pernah padam
dari hati kecilnya. Tetap saja Niwa adalah gadis seperti umumnya ia juga punya
sisi lemah dan rapuh. Selama empat bulan ibunya tak sadarkan diri hingga
akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia pergi meninggalkan anak
gadisnya yang mulai beranjak dewasa itu. Niwa begitu terpukul dengan kepergian
ibunya. Ia menagis terisak dan mengurung dirinya di atas mercusuar sendirian.”
“Niwa kamu tidak
bisa terus menerus berada di sini. Ayo sayang kita pulang”. Tabib itu mencoba
membujuk Niwa
“Aku sudah tidak
punya alasan lagi untuk kembali ke sana. Semuanya sudah pergi meninggalkan
Niwa, sekarang aku sendirian dan hanya sendirian seorang diri”. Tatapan matanya
kosong.
“Niwa kau tak boleh
bilang seperti itu, kamu bisa menganggapku sebagai ibumu. Jangan sekalipun
berfikir kalau kau sendirian. Ibu akan selalu berada di sisimu.” Ia merengkung
tubuh Niwa sambil menahan tangis agar tidak tumpah dengan mudah.
“Ibu”. Suara Niwa
lirih memanggil sang Tabib dengan sebutan ibu.
Hati Tabib pun
bergetar matanya mulai berkaca-kaca, “Benar sayang kau bisa memanggilku Ibu
mulai sekarang.”
“Semenjak kejadian
itu ia mulai berdamai dengan hatinya, Niwa mulai menjalani kehidupan seperti
sedia kala. Dan ia pun memutuskan kembali ke rumah lamanya, ia ingin
membersihkannya setiap hari siapa tau suatu hari Ayahnya pulang ke rumah. Dia
sangat menantikan saat itu datang itulah kenapa sampai sekarang ia masih sering
datang ke sini mengunjungi anak-anak itu dan pergi ke dermaga menanti
kedatangan Ayahnya.” Tabib itu melepas kaca matanya yang mulai berembun. Arang
hanya bisa terdiam mendengar cerita yang diucapkannya tentang Niwa si gadis
senja.
“Ada panggilan
telfon untuk Ibu katanya penting.” Suara seseorang memanggil Tabib, membuat
mereka berdua memandang ke arah datangnya suara.
“Kamu bisa
sendirian kan melanjutkan kelilingnya?” tanya sang Tabib.
“Tak apa-apa, lagi
pula masih ada beberapa tempat yang masih belum saya lihat.” Jawab Arang dengan
cepat.
“Atau kalau enggak
kamu bisa minta tolong Niwa untuk menemanimu, saya tinggal dulu sebentar.”
Pergi meninggalkan Arang.
Kini hanya Arang
seorang diri yang berdiri di depan ruangan bangsal khusus untuk anak-anak. Ia
memandangi Niwa yang masih asyik bercanda gurau dengan anak kecil di dalam
ruangan. Arang kembali melihat minuman yang sejak tadi ia genggam dan belum
sempat ia minum.
“Kalau nanti Kanya
mandi haruskan plester ini dilepas? Lalu bagaimana kalau lukanya terkena air
dan terasa perih?”. Kanya mengajukan pertanyaan sekaligus rasa penasarannya
pada Niwa.
“Hmm..” Niwa
bergumam sebelum menjawab.
“Kanya tidak usah
khawatir jika plesternya dilepas ketika mandi, kakak yang akan memasangkannya
lagi dan Kanya tak kan merasakan sakit lagi.” Arang masuk ruangan dan ikut
bergabung dalam pembicaraan. Niwa merasa kanget dengan kedatangan Arang, ia
hanya bisa tersenyum sebagai tanda salam.
“Waahh benarkah
paman akan menyembukan lukanya Kanya?”. Ia terlihat begitu senang.
“Benar. Mulai
sekarang kakak yang akan berusaha sebaik mungkin menyembuhkan rasa sakit yang
kalian rasakan.” Mengulurkan minuman ke arah Kanya, “Ini adalah minuman ajaib
yang akan membuat Kanya bahagia.” Kanya menerimanya dengan penuh kegembiraan.
Saat itu untuk
pertama kalinya pemuda itu merasa ada sesuatu yang harus ia ubah dalam
hidupnya. Ia merasa senang bisa berjumpa
dengan gadis senja itu, dari cerita yang ia dengarkan tadi membuatnya berfikir
di dunia ini ia memiliki tanggung jawab besar untuk menyembuhkan rasa sakit
ynag dirasakan orang lain. Pemuda itu tidak ingin nasib yang dialami oleh Niwa
terjadi pada orang lain lagi. Ia lebih memilih menunggu fajar sebagai
harapannya, karena fajar akan selalu datang menggantikan gelapnya malam. Pemuda
itu berusaha untuk mempercayai harapan kecilnya itu. Ia pun memandang ke arah
Niwa yang masih berada di sampingnya dan tersenyun ramah.
-To be Continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar