Kamis, 13 Oktober 2016

Menunggu Senja

Terdengar suara dentuman sirine kapal yang memekik kencang dari kejauhan dan perlahan mulai menurunkan jangkar untuk berlabuh dipinggiran dermaga, ia membawa penumpang dari perjalanan jauhnya, selama beberapa malam terombang-ambing di atas lautan hingga sampai disebuah kota kecil yang jauh dengan keramaian ibu kota. Satu per satu penumpang kapal mulai keluar hingga membuat para penyedia jasa antar langsung mengerubungi calon pengguna jasa mereka.
“Silahkan Tuan, saya akan bantu membawakan barang anda.” Salah seorang penyedia jasa menawarkan bantuan pada salah seorang penumpang kapal yang sepertinya membawa barang bawaan cukup berat.
Suara riuh bagaikan gerombolan lebah yang bermigrasi, situasi yang serupa terjadi di  dermaga yang semakin ramai dan terlihat kesibukan dimana-mana. Tak hanya penumpang dari kapal penyeberangan yang memenuhi bibir dermaga, sore itu kapal barang juga lagi sibuk-sibuknya menurunkan seluruh isi bawaannya. Puluhan pekerja berat mengangkut karung yang berisi rempah-rempah atau pun bahan makan lainnya.
Seorang laki-laki yang nampak masih muda baru keluar dari kapal penyeberangan, dengan membawa tas ransel dipunggungnya dan menenteng koper berukuran sedang di tangan kirinya. Wajahnya nampak asing berada di tempat yang baru ia datangi untuk pertama kalinya.
“Tuan muda” sapa seorang penyedia jasa padanya, “Apa anda butuh bantuan? Nampaknya anda baru pertama kali datang ke sini.” Tebaknya.
“Iya ini pertama kalinya saya datang ke sini dan saya ingin menuju ke alamat ini” sambil memberikan lembaran kertas yang bertuliskan sebuah alamat, “Apa anda bisa mengantarkan saya ke sana?”
“Ah.. ini bukankah rumahnya tabib? tempatnya tak jauh dari sini. Saya akan mengantarkan anda, kendaraan saya ada di sebelah sana biar saya bantu membawakan barang anda.” Membawa koper milik pemuda itu lalu menuju kendaraan yang terparkir tak jauh dari bibir dermaga.
“Terima kasih banyak.” Mengikuti di belakangnya.
Sekali lagi terdengar dentuman sirine yang memekik keras dan perlahan kapal penyeberangan merangkak menjauh dari bibir dermaga. Tenggelam bersama matahari yang terbalut dengan warna jingganya langit sore. Terlihat di atas mercusuar nampak seorang gadis yang sedang berdiri memandangi arah kepergian kapal.
Dengan penasaran pemuda itu pun bertanya, “Apa yang sedang dia lakukan di atas sana?”
Penyedia jasa menjawab, “Dia sedang menunggu sebuah kapal.”
“Kapal? Kenapa dia harus menunggunya di sana?” pemuda itu terus saja bertanya.
“Saya sendiri juga tidak tahu alasannya kenapa, tapi rumor yang saya dengar dia hanya akan menunggu kedatangan kapal ketika hari sudah menjelang senja. Itulah kenapa orang-orang menjulukinya gadis senja.” Jelas panjang lebar sang penyedia jasa itu.
“Senja. Nama yang cukup indah” gumam pemuda itu dengan pelan.


                                             Picture from google.com

Pemuda itu sekali lagi memandangi ke arah mercusuar yang hanya memperlihatkan siluet bayangan gadis senja dari kejauhan. Rambut panjang yang dibiarkannya tergerai tertiup angin membuat wajah gadis senja nampak tak begitu jelas. Kendaraan yang ditumpangi pemuda itu semakin menjauhi dermaga dan meninggalkan rasa penasaran akan gadis senja yang masih berdiri di atas mercusuar memandang kepergian kapal hingga tak terlihat lagi wujudnya. Hari pun perlahan mulai gelap.
“Mungkin ruangannya sedikit sempit jangan samakan dengan kehidupan di ibu kota, tapi ini bisa kau gunakan untuk istirahat dan cukup nyaman. Pasti perjalanan menuju ke sini cukup melelahkan bukan?”. Ia tersenyum ke arah pemuda itu, “istirahatlah malam ini besok pagi-pagi kita bisa mulai kelilingi tempat ini. Saya permisi dulu”. Seorang tabib perempuan yang mulai memasuki usia enam puluhan itu beranjak pergi.
“Terima kasih banyak, Nek.” Ucap pemuda itu dengan sedikit kaku.
Langkah kaki sang tabib terhenti seketika lalu memandang pemuda itu sekali lagi, “kau bisa memanggilku Ibu, meskipun kelihatannya tubuh ini sudah tua tapi aku belum pernah punya anak. Jadi siapapun yang tinggal di sini sudah ku anggap sebagai anak sendiri.” Dia sepertinya sedikit tersinggung dengan ucapan sang pemuda. “Oh iya namamu siapa wahai anak muda?” ia bertanya
“Karang.. anda bisa memanggil saya Arang”. Jawab sang pemuda dan ia pun menyesali atas ucapannya tadi.
“Hmm.. akan selalu ku ingat namamu, silahkan istirahatlah.” Beranjak pergi
“Baik.”
Keesokan harinya Arang mengeliling kelinik tempat pengobatan sang tabib. Selama masa pengenalan Arang masih sedikit canggung dengan orang-orang di lingkungan barunya. Maklum karena ini baru pertama kalinya ia menjalankan kerja praktik di sebuah kota kecil yang tak banyak orang ketahui. Terlebih lagi di kota kecil ini orang-rangnya masih mempercayai pengobatan tradisional, ia tidak tahu ilmu kedokteran yang sudah dipelajarinya selama perkuliahan bisa ia terapkan dengan baik apa tidak. Itulah kecemasan yang ia rasakan ketika pertama kali datang ke sini.
Arang kini duduk di beranda termenung sendirian.
“Anak semuda kamu tak baik melamun sendirian.” Tabib mendekatinya dan memberikan sekaleng minuman dingin pada Arang.
“Ah Ibu.. terima kasih.” Arang jadi kebingungan, “Saya hanya..” kalimatnya terhenti
“Kalau begitu bisa kita lanjutkan kelilingnya? Masih ada bangsal rawat inap untuk anak-anak yang belum kamu lihat.” Tabib itu berdiri diikuti anggukan kepala dari Arang tanda ia mengiyakan ajakannya. Arang berjalan di samping sang Tabib, kedua tangannya menggenggam minuman yang tadi diberikan kepadanya.
Disituasi lainnya nampak seorang anak perempuan sedang menagis kesakitan, lalu datang seorang gadis muda menenangkan tangisan anak kecil itu. “Kanya apa yang terjadi?” tanya gadis muda itu.
“Kanya tadi terjatuh setelah mengambilkan boneka saya dari atas lemari kak.” Anak kecil satunya menjelaskan dengan raut muka penuh khawatir atau mungkin merasa bersalah.
Gadis muda itu tersenyum hangat, “coba kakak lihat yang luka bagian mana?” ia memeriksa badan anak kecil itu. “Ah ternyata lututnya tergores, sini kakak akan menyembuhkannya dengan sihir agar cepat sembuh.”
“Sihir?” tangisnya terhenti kini mata sembabnya memandang ke arah gadis muda yang ada di hadapannya.
“Kakak akan memberi tahu mantranya, tapi dengan syarat ini adalah rahasia kita jangan sampai orang lain tau. Husssh..” anak kecil itu mengangguk menyetujui, “Pergi kau rasa sakit, pergi kau jauh dariku, huuh.. huuh”. Ia meniupi luka anak kecil itu lalu memasang sebuah plester agar lukanya tidak infeksi.
“Nah sekarang sudah selesai, Kanya tidak boleh nagis lagi. Nanti kalau Ibu lihat dia pasti ikut sedih. Ini kakak ada permen buat kamu satu dan satu lagi buat Dinda.”
“Terima kasih Kak Niwa”. Ucap kedua anak kecil itu bersamaan.
Diluar ruangan ternyata sudah ada Arang dan Tabib yang memperhatikan kejadian di dalam sana. “Kau lihat gadis muda itu,” Tabib memandang ke arah Niwa. “Dia sering datang ke sini untuk menyapa anak-anak yang sakit itu dan mengajak mereka bermain agar mereka bisa melupakan rasa sakit yang mereka derita. Sungguh di dalam dirinya dikaruniai hati malaikat oleh Tuhan. Walau sebenarnya ia sendiri mengalami rasa sakit yang jauh lebih dalam.” Menghela nafas sebelum ia melanjutkan kalimatnya.
“Sejak Niwa berusia sepuluh tahun ia sudah ditinggal oleh Ayahnya pergi berlayar ke lautan. Kala itu Ayahnya sudah berjanji pada Niwa akan kembali lagi pada bulan berikutnya sebelum matahari tenggelam. Niwa kecil yang selalu menantikan kedatangan Ayahnya hingga membuatnya pergi ke dermaga seorang diri ketika senja datang dan menunggunya berjam-jam di mercusuar. Bukan bulan seperti yang dijanjikan Ayahnya, sudah bertahun-tahun Niwa melakukan hal yang sama selama sepuluh tahun ini hingga usianya beranjak dewasa. Namun sosok Ayah yang dinantinya tak pernah kunjung datang.
“Karena itulah orang-orang yang di dermaga selalu memanggil Niwa dengan sebutan Gadis Senja.” Sekali lagi Tabib itu menghela nafas lebih dalam dan panjang.
“Gadis senja?” Arang mencoba mengingat sesuatu lalu memandang ke arah Niwa.
“Iya mungkin ketika kedatanganmu ke sini pasti kamu juga melihatnya di atas mercusuar sana. Dan mendengar cerita dari orang-orang di dermaga, tapi kebanyakan dari mereka tak tahu alasan sebenarnya kenapa Niwa melakukan hal yang sama berulang kali selama sepuluh tahun tanpa telat dan absen sekalipun.”
Arang menganggukkan kepala.
Sang Tabib melanjutkan ceritanya, “Selain itu setahun yang lalu Ibunya Niwa jatuh pingsan di tempat kerjanya hingga membuatnya tak sadarkan diri. Kami tak bisa berbuat banyak untuk menyembuhkannya, seperti yang kamu lihat di klinik ini kami hanya menggunakan obat tradisional dan tak ada dokter yang bisa kami andalkan di sini. Satu-satunya pilihan adalah memindahkannya ke ibu kota. Tapi dana yang dibutuhkan cukup besar, hingga membuat Niwa menawarkan dirinya untuk membantu pekerjaan di klinik dengan harapan gaji yang didapat bisa ia gunakan untuk membawa ibunya ke ibu kota.
“Ia pun tak pernah melupakan rutinitasnya pergi ke dermaga ketika senja datang untuk menanti kepulangan Ayahnya. Dan harapan kecilnya untuk berjumpa dengan pria itu tak pernah padam dari hati kecilnya. Tetap saja Niwa adalah gadis seperti umumnya ia juga punya sisi lemah dan rapuh. Selama empat bulan ibunya tak sadarkan diri hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia pergi meninggalkan anak gadisnya yang mulai beranjak dewasa itu. Niwa begitu terpukul dengan kepergian ibunya. Ia menagis terisak dan mengurung dirinya di atas mercusuar sendirian.”
“Niwa kamu tidak bisa terus menerus berada di sini. Ayo sayang kita pulang”. Tabib itu mencoba membujuk Niwa
“Aku sudah tidak punya alasan lagi untuk kembali ke sana. Semuanya sudah pergi meninggalkan Niwa, sekarang aku sendirian dan hanya sendirian seorang diri”. Tatapan matanya kosong.
“Niwa kau tak boleh bilang seperti itu, kamu bisa menganggapku sebagai ibumu. Jangan sekalipun berfikir kalau kau sendirian. Ibu akan selalu berada di sisimu.” Ia merengkung tubuh Niwa sambil menahan tangis agar tidak tumpah dengan mudah.
“Ibu”. Suara Niwa lirih memanggil sang Tabib dengan sebutan ibu.
Hati Tabib pun bergetar matanya mulai berkaca-kaca, “Benar sayang kau bisa memanggilku Ibu mulai sekarang.”
“Semenjak kejadian itu ia mulai berdamai dengan hatinya, Niwa mulai menjalani kehidupan seperti sedia kala. Dan ia pun memutuskan kembali ke rumah lamanya, ia ingin membersihkannya setiap hari siapa tau suatu hari Ayahnya pulang ke rumah. Dia sangat menantikan saat itu datang itulah kenapa sampai sekarang ia masih sering datang ke sini mengunjungi anak-anak itu dan pergi ke dermaga menanti kedatangan Ayahnya.” Tabib itu melepas kaca matanya yang mulai berembun. Arang hanya bisa terdiam mendengar cerita yang diucapkannya tentang Niwa si gadis senja.
“Ada panggilan telfon untuk Ibu katanya penting.” Suara seseorang memanggil Tabib, membuat mereka berdua memandang ke arah datangnya suara.
“Kamu bisa sendirian kan melanjutkan kelilingnya?” tanya sang Tabib.
“Tak apa-apa, lagi pula masih ada beberapa tempat yang masih belum saya lihat.” Jawab Arang dengan cepat.
“Atau kalau enggak kamu bisa minta tolong Niwa untuk menemanimu, saya tinggal dulu sebentar.” Pergi meninggalkan Arang.
Kini hanya Arang seorang diri yang berdiri di depan ruangan bangsal khusus untuk anak-anak. Ia memandangi Niwa yang masih asyik bercanda gurau dengan anak kecil di dalam ruangan. Arang kembali melihat minuman yang sejak tadi ia genggam dan belum sempat ia minum.
“Kalau nanti Kanya mandi haruskan plester ini dilepas? Lalu bagaimana kalau lukanya terkena air dan terasa perih?”. Kanya mengajukan pertanyaan sekaligus rasa penasarannya pada Niwa.
“Hmm..” Niwa bergumam sebelum menjawab.
“Kanya tidak usah khawatir jika plesternya dilepas ketika mandi, kakak yang akan memasangkannya lagi dan Kanya tak kan merasakan sakit lagi.” Arang masuk ruangan dan ikut bergabung dalam pembicaraan. Niwa merasa kanget dengan kedatangan Arang, ia hanya bisa tersenyum sebagai tanda salam.
“Waahh benarkah paman akan menyembukan lukanya Kanya?”. Ia terlihat begitu senang.
“Benar. Mulai sekarang kakak yang akan berusaha sebaik mungkin menyembuhkan rasa sakit yang kalian rasakan.” Mengulurkan minuman ke arah Kanya, “Ini adalah minuman ajaib yang akan membuat Kanya bahagia.” Kanya menerimanya dengan penuh kegembiraan.
Saat itu untuk pertama kalinya pemuda itu merasa ada sesuatu yang harus ia ubah dalam hidupnya.  Ia merasa senang bisa berjumpa dengan gadis senja itu, dari cerita yang ia dengarkan tadi membuatnya berfikir di dunia ini ia memiliki tanggung jawab besar untuk menyembuhkan rasa sakit ynag dirasakan orang lain. Pemuda itu tidak ingin nasib yang dialami oleh Niwa terjadi pada orang lain lagi. Ia lebih memilih menunggu fajar sebagai harapannya, karena fajar akan selalu datang menggantikan gelapnya malam. Pemuda itu berusaha untuk mempercayai harapan kecilnya itu. Ia pun memandang ke arah Niwa yang masih berada di sampingnya dan tersenyun ramah.


-To be Continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar