Minggu, 05 Januari 2014

HEAR MY MELODY



         
          Tumpukan buku berdebu, kaset tua yang sudah jarang terputar. Tetesan air wastafel mengeluarkan deningan yang tak ku pahami. Alunan melodi yang tak bisa ku mengeri, itulah kehidupan. Kenangan selalu ada di sana, 17tahun. Aku masih rentan dan tak berdaya. Selalu membuat kesalahan lagi dan lagi, selalu membuat dia menangis. Tapi di sanalah kenagan indah yang pernah aku miliki. Di tempat itu saat pertama kali aku menemukannya.
          Kesedihan, kesepian yang tak pernah lepas dari bayangan kehidupan ini. Memiliki sebuah keluarga yang utuh menjadi mimpi indah bagiku. Namun sayang semua itu tak pernah aku miliki. Ibu meninggal saat melahirkanku ke dunia ini, meninggalkan kami berdua. Aku dan ayah. Hanya sebuah piano tua yang lusuh terpajang di sudut ruangan. Itulah barang berharga yang ditinggalkannya untuk kami.
         
Ayah pernah bilang kepadaku, harta yang paling berharga dimilikinya di dunia ini hanya ada 2 hal. Pertama, kenanganya bersama ibu. Piano tua itulah saksi kehidupanya, awal perjalanan hidupnya, mimpi-mimpi yang ingin direngkuhnya. Setelah ibu pergi dari kami, perlahan-lahan perubahan nyata terjadi dalam kehidupannya. Semua kesedihan yang dirasakan hanya bisa dilampiaskannya saat menekan tots demi tots di piano itu. Suaranya terdengar sendu. 
          Dan yang kedua adalah diriku sendiri. Hanya aku seorang yang dimilikinya, tak lain dan tak bukan. Dia menaruh harapan dan mimpi-mimpinya hanya padaku seorang. Menggantikan posisi dia, yang tak sempat ia rengkuh. Bahkan hanya menjadi seorang guru seni musik di sekolah swasta yang tak tetap, yang sanggup ia jalani. Selalu berpindah ke tempat satu ke tempat lainnya. Begitu juga kehidupan kami. Membuatku kesulitan bergaul dengan dunia luar. Tapi inilah hidup bukan?.
           Tapi, di saat itu aku berfikir untuk mengambil alih semua beban dari dirinya. Namun mampukah aku dengan tubuh sekecil ini?. Entahlah.
****
         
“Rei, apa ayang akan kamu rencanakan selanjutnya?”. Ayah berbicara dari ruang makan, sambil membalik-balik koran yang dibacanya.
          “Entahlah. Aku belum sempat memikirkannya.” Sahutku dari dalam dapur yang sedang mempersiapkan sarapan pagi.
           “Hah. Anak muda itu tak boleh menyia-nyiakan waktu. Kamu tau waktu tak kan……”
          “Tak kan kembali jika disia-siakan. Kecuali diantara kita mau berusaha untuk mengejarnya.” Aku menyeka ucapan ayah, yang bahkan sudah aku hafal di luar kepala. Ayah menaruh Koran yang dibacanya ke atas meja, memandang ke arahku. “Aku tau yah. Nanti Rei akan memikirkanya, sekarang makan dulu. Oke?.” Ku taruh semangkuk besar sup daging panas di atas meja. Asapnya mengepul menyeruak ke hidung, membuat perut terasa semakin lapar.
          Percakapan hari itu terhenti untuk sementara. Sedangkan waktuku saat ini adalah mengurus surat perpindahan sekolah. Seminggu lagi ayah pindah tugas mengajar di sebuah kota kecil yang jauh dari Ibu kota. Dan aku mau tak mau harus mengikutinya kemanapun ia pergi. Semua ini sudah menjadi kebiasaan yang tak dapat kutolak dalam hidupku.
          Datang ke tempat baru, berjumpa orang baru, mendapat teman baru, menempati kelas baru, dan mungkin aku bisa berjumpa dengan seorang yang spesial. Entahlah. Aku belum tahu. Jalani saja untuk saat ini.
****
          “Bagaimana bisa di hari pertama seperti ini aku bisa telat?.” Kupandangi jam yang melingkar di pergelangan tangan kananku. Berlari sekencang mungkin menuju kelas. Nafasku tersenggal, langkahku terhenti. Sayup-sayup aku mendengar deningan suara piano. Berasal dari dalam ruang musik.
          Kulangkahkan kaki mendekati muka pintu. Mataku menjelajah mencari sosok yang memainkan alunan lagu ini. Ketemu. Kepalanya menunduk membuat rambut panjangnya yang tergerai menutup wajahnya dari samping. Tak begitu jelas.  Tangannya sangat lihai memainkan tots tots piano dengan nada yang begitu sempurna. Tak terdengar kesalahan nada di sana.
           Untuk beberapa saa aku terpaku memandanginya, sampai tak sadar musik yang dimainkanya sudah terhenti. Pandangannya megarah padaku. Membuatku gelagapan karenanya.
          “Hai?.” Mengankat tangan, berusaha menyapa seramah yang ku bisa. Tak ada respon darinya. Membuatku salah tingkah.
          Dia berjalan ke arahku, dia tersenyum. Aku tak mengeri maksudnya, hanya membalasnya dengan senyuman yang terlihat kaku.
          “Oh iya maaf boleh Tanya sebentar?. Kelas musik 2.3 di mana ya?, Dari tadi saya mencari kemana-mana belum ketemu. Malah sekarang tersasar di sini. Maaf tadi saya juga tak sengaja mendengar kamu main piano.” Ku garuk kepala belakangku yang tak gatal. Aku selalu payah memulai percakapan saat pertama kali bertemu dengan orang baru. Untuk beberapa saat tak ada suara di antara kami, suasana yang membuatku semakin kikuk.   
          Dia mengeluarkan sebuah buku cataan kecil dari dalam tasnya. Menulis sesuatu di atasnya. Membuatku semakin bingung.
          [Keals 2.3?. Itu di gedung A, sebelah gedung auditorium. Dari sini tinggal belok kiri. Dari sana kamu bisa menemukannya.] Itu tulisan yang ditunjukkannya ke hadapanku. Kamudian dia kembali menulis lagi.
          [Saya juga ingin menuju ke sana. Mau sekalian bareng sama saya?.] Dia tersenyum sambil memegangi buku catatannya yang dihadapkan ke arahku. Aku menganggukkan kepala. Mengekor mengikutinya dari belakang, berjalan mensejajarkan langkah di sampingnya. Selama perjalanan tak ada percakapan diantara kami. Semua diam. Sunyi.
          Dia mengantarkanku tepat di depan kelas, kemuadian dia pergi begitu saja. Bahkan aku lupa mengucapkan terima kasih. Tanya namanyapun tak sempat aku lakukan. Itulah saat terakhir aku bertemu dengannya, aku juga tak tau bisakah kami berjumpa lagi?. Entahlah.
****
          Semenjak kejadian itu perlahan-lahan aku mengerti, setidaknya dalam seminggu kami dipertemukan dalam satu kelas. Musik klasik. Semakin aku perhatikan wajahnya semakin membuatku tertarik dengannya. Dia amat pendiam bahkan aku tak pernah melihanya bergaul dengan anak lainnya. Ini semakin membuatku penasaran akan sosoknya dia yang sebenarnya.
          “Hei Rei kenapa kamu melamun saja?.” Shin menyenggol bahuku, tak sadar selama pelajaran tadi aku hanya memperhatikan wajah perempuan itu. Aku gelagapan menanggapi respon dari Shin. “Ah pantas saja sejak tadi kamu mematung seperti itu karena memperhatikan si Alean ya?.” Perkataan Shin semakin menggoda.
          “Ini tak seperti yang kamu pikirkan. Sungguh.” Aku mengelak, mengalihkan pandangan ke buku di hadapanku.
          “Ah, jangan bohong lah…wajahmu sudah kelihatan memerah, seperti kepiting direbus aja…hahaha.”
          “Aku penasaran saja sama dia.” Kembali menatap wajah Shin di sampingku.
          “Tuh kan akhirnya mau cerita juga?.” Aku hanya tersenyum meresponya, dia mangecilkan suaranya. “Rei asal kamu tahu saja untuk mendekati Alean tak akan semudah yang kamu kira. Dia memang cantik, mungkin bisa dibilang diantara perempuan yang lainya dia lumayan. Dan ada tapinya,  selain dia tak bisa bicara, dia juga tak bisa mendengar apa yang akan kamu katakana. Dan anahnya lagi, dia hanya bisa mendengar bunyi-bunyi tertentu. Yah seperti nada musik atau barang-brang yang jatuh saja. Aneh kan?”
          “Tapi dia bisa mendengar suaraku, saat aku tanya ruang kelas dulu…” perkataanku terpotong, ketahuan ngobrol di dalam kelas.
          “HEI KALIAN BERDUA!! KALAU MAU NGOBROL DI LUAR SAJA, JANGAN BUAT KERIBUTAN DI DALAM KELAS SAYA!!!.” Suara Miss. Lina menggema di seluruh ruangan, membuat percakapan kami terhenti seketika. Kembali menatap papan tulis, mencatanya ke dalam lembaran-lembaran kertas. Tapi, perkataan Shin barusan masih terngiang di dalam kepalaku. Soal Alean yang tak bisa mendengar.
          Jam kelas akhirnya selesai.
          Saatnya bergegas mencari jawaban atas rasa penasaranku sejak tadi.
          “Alean tunggu sebentar.” Kutarik pergelangn tangannya. Dia tarkejut menatapku dengan bingung, mengerutkan kedua alis tabalnya mengartikan ada apa?
          “Eeem..eeem..” aku bingung mancari kata-kata, mulutku targulum. Cangkraman tanganku melepas pargelangan tangannya. Dia mengambil catatan kecil, dan mulai menulis.
          [Ada apa? Apa ada yang bisa saya bantu?]
          Aku mencari kertas yang bisa buat aku coret, menuliskan kaa-kata di sana. [Bisakah kita bicara sebentar? Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan sama kamu] menghadapkan lembaran kartas itu ke padanya untuk dibaca.
          Dia menganggukan kepala, tanda tak keberatan. Aku mengajaknya ke ruang musik, tempat pertama kami bertemu. Tanganku menyentuh pingiran piano, duduk , menekan nada demi nada. Dia yang awalnya hanya terdiam, mulai terarik untuk duduk di sampingku. Tangannya menekan satu nada, dua nada, dan sekarang kami saling main piano bersama. Memainkan piano dengan empat tangan. Permainan yang tak pernah aku lakukan sebelumnya.
          Sesekali wajah kami saling menatap, tersenyum satu sama lain, kembali memainkan piano. Memainkan melody Mozaks dengan ritme yang cepat, aku merasa hidup, tubuhku serasa utuh kembali. Bukan seproh lagi. Aku senang bisa mengenalnya.
          Parmainan kami selesai, nafasku memburu. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya, dia hanya tersenyum menatapku lurus. “Apa kamu bisa mendengarku?” suaraku berbisik lirih.
          Dia merespon. Menganggukkan kepala. Aku bingung menatapnya, bukankan Shin bilang kalau dia tak bisa mendengar orang bicara. Tapi sekarang? Apa dia berbohong padaku? Kepalaku semakin bingung memikirkannya. Dia tersenyum melihat wajahku yang sedang kebingungan, [Aku bisa mendengar kalau habis memainkan piano J] menunjukkan lembaran kertas ke hadapannku.
          “Bagaimana bisa?” Aku ditambah bingung. Dia hanya menggelengkan kepala. Tak mengerti.
          “Alean, aku ingin tahu banyak soal kamu.” Perkataanku terdengar sedikit kaku.
          [Panggil Al saja.]
          “Baiklah. Al, bolehkah akau menjadi temanmu?”
          [Hem..tentu boleh] aku senang mendengarnya.
          Semenjak itu waktu perlahan-lahan mulai menampakkan senyumannya pada kami. Berjalan bersamanya, memandang wajahnya membuat waktu seakan berhenti di sana. Aku tahu kalau piano adalah nafas kehidupannya,. Dan karenanya juga, kami dapat berkomunikasi. Walaupan hanya dalam hitungan menit, tak apa. Bagiku itu ak msalah. Inilah waku yang kita miliki berdua.
          “Rei tunggu! Kenapa buru-buru sich, mau ke mana?” Shin menegurku yang sudah setengah jalan meninggalkan plataran sekolah.
          “Mau ke toko buku.” Jawabku pendek.
          “Eh, mau cari apa?”
          “Mau cari buku tentang Gesture tubuh manusia.” Aku mulai melangkahkan kaki, dia mengekorku dari belakang.
          “Apa kamu serius soal Al?” dia berjalan sambil menaruh kedua tangannya menyanggah kepalanya dari belakang, mulutnya mengunyah permen karet yang sesekali ditiupnya.
          “Memangnya kenapa? Tak ada yang salah kan?” aku membalikkan pertanyaan.
          “Selama ini Al selalu sendirian. Tak ada yang mempedulikannya, walaupun selama ini dia nyata, tapi semua anak di kelas tak pernah mengganggapnya. Mungkin dia merasa tak adil akan hidup ini, hanya piano yang di ruang musik itulah temannya. Tapi Ia tak pernah berhenti untuk bermimpi, dia berusaha keras untuk dihargai orang di sekitarnya.” Dia tersenyum getir, “Aku senang sobat ada orang yang peduli denganya seperti kamu. Aku harap kamu menjaganya dengan sepenuh hati.” Dia memukul-mukul punggung belakangku. Sakit. Aku tak peduli, pikiranku melayang ke wajah Al seorang.
          Hampir tiga bulan terakhir ini aku belajar cara menggunakan Gesture tubuh, belajar sekeras yang aku bisa. Ini semua aku lakukan hanya untuk berkomunikasi dengannya. Ak kurang tak lebih.
          Aku menyayanginya lebih dari apa yang aku rasakan.
          Aku menginginkannya.
****
          Waktu merangkak begiu cepat. Tak terasa waktu satu tahun melesat dari busur kehidupanku. Hubungan kami juga semakin dekat, membuatku sulit melepaskannya dari genggaman tanganku. Sebener lagi upcara kelulusan.
          “Kamu jangan sedih seperti itu. Aku akan tetap baik-baik saja di sini.” Al menggunakan bahasa gesture tubuh.
          “Tapi tetap saja Al. aku ga bisa hubungan jarak jauh, apalagi sini sampai ibu kota terpaut puluhan kilo meter.” Wajahku terlihal sedih, menyesal.”Seharusnya aku tidak mengambil kuliah di ibu kota, bukankah kita sudah berjanji. Suatu saat nanti ingin membangun masa depan bersama, terus bagaimana jadinya kalau…” muluku terkunci. Jari telunjuk Al mendarat di bibirku.
          “Huussh…kamu tak boleh bicara seperi itu!” seperti itulah arti dari gerakan gesture ubuhnya, “Aku akan selalu menunggu kamu di sini Rei. Aku janji.” Dia menyodorkan jari klingkingnya, tanda perjanjian yang abadi. Aku masih ragu-ragu menyambutnya, tangan kanan Al menyeret pergelangan tanganku. Menyuruh membalas acungan jari klingkingnya.
          “Aku juga janji akan segera kembali ke sini. Secepat yang aku bisa.” Gesture tubuhku juga semakin sempurna. Dengan inilah komunikasi kami berlanjut dari hari kehari berubah menjadi minggu, bulan, perubahan musim, bahkan tahun menghampiri kami berdua. Semua terasa indah pada waktunya.
          Kepindahanku ke Ibu kota untuk melanjutkan kuliah musik, semua itu karena rekomendasi dari Ayah yang tak bisa aku tolak. Dengan terpaksa aku meninggalkan dia di sini. Semua ini membuatku berat.
          Di tahun pertama hubungan jarak jauh kami bisa dibilang lancar,. Setiap malam jam 9 aku sempakan untuk cattingan sama dia, itulah kepingan kenangan yang aku miliki di saat tak bisa melihat dia secara langsung. Di sini aku merasa kesepian. Setidaknya itu yang aku rasakan.
          Di tahun ke dua masalah datang satu persatu menghujam diriku. Ayah pergi meninggalkanku sendirian, dia pergi menjemput ibu di surga. Dia meninggal kerena serangan jantung mendadak. Hidup di Ibu kota mulai terasa berat, terpaksa aku mengambil kerja par time untuk menghidupi kebutuhanku sendiri. Waktuku bersama dia juga semakin jarang kami lakukan. Aku terlalu sibuk untuk membagi waktu. Waktu tersa terhenti.
          Dan sekarang aku mendapat kabar Al sedang jatuh sakit. Aku tak bisa di sampingnya di saat dia sedang sekarat. Itulah penyesalah terbesar dalam hidupku. Berusaha mati-matian aku mngejar kelulusan selama dua ahun setengah. Mendapat gelar sarjana dan tawaran menjadi seorang pianis terkenal, semua itu aku hiraukan. Segera aku harus kembali ke kota kecil itu. Terlambat. Semua sudah terlambat, Al juga pergi meninggalkanku di dunia ini sendiri.
          “Al tak ingin orang ynag ditinggalkannya sedih. Tante mohon jangan buat dia tak tenang di sana nak Rei.” Mamanya Al mengambil tempat duduk di sampingku, wajahku tertunduk. “Al menitipkan ini untuk kamu.” Menyerahkan sebuah buku diarynya Al. aku menatap wajahnya mengambil alih dari tangannya.
          “Terima kasih Tante.”
          “Al selalu senang saat cerita tentang kamu Rei.” Beranjak pergi meninggalkanku sendiri.
          Selama ini Al menderita HIV/AIDS, dan bahkan dia tak pernah mau cerita sama aku. Dia tak ingin dikasihani atau hal serupa, dia tahu kapan dia pergi. Dia ak ingin menyakiti orang lain, di saat waktu benar-benar kejam menjemputnya secara paksa. Aku ingin berbagi penderitaan sama dia, aku ingin dia mengasih sengah penderitaannya padaku. Tapi sekarang kenyataannya sudah terlambat. Aku kembali tertunduk. Menangis.
****
          Sepuluh tahun berlalu dengan sangat lambat. Seperti keong yang merangkak, memberiku waktu untuk kembali memikirkan semuanya. Mimpi Ayah dan Alean yang dititipkan padaku perlahan-lahan mulai aku bangun. “AREI SCHOOL” menjadi saksi bisu mimpi Al. Di sini kami menampung anak-anak yang kurang beruntung untuk dididik soal musik ataupun perhatian khusus lainnya. Perubahan nyata hanya dapat dilakukan dengan perbuatan, bukan dengan seribu kaa-kata yang tak berarti.   
                Untuk membiayayai ini semua, aku mengambil tawaran dari Profesor Hanry untuk ikut dengannya di grup orchestra bermain piano. Belajar untuk menjadi orang yang membanggakan Ayah, aku kembali belajar lagi dari bawah. Semua ini aku jalani untuk kalian berdua. Mimpi-mimpi kalian akan selalu aku bawa sampai nafas ini berhenti dari kehidupanku. Aku janji.
          “Close your eyes, hear my melody. I’ll beside you” (tulisan di catatan diary Alean.)
          “Aku sayang kamu Al” kupejamkan mata, menghela nafas panjang.
          “Aku juga Rei…” terdengar suara hembusan nafas di telingaku.
**SEKIAN**

BIODATA

NAMA                               : NUR ROCHMAH
JURUSAN/FAKULTAS      : SASTRA JEPANG/FAK. ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS                 : UNIVERSITAS DIPONEGORO
ALAMAT                           :JL. TEMBALANG RAYA NO. 01 SEMARANG
NO. HP                              : 085740494631
ALAMA E-MAIL                : rochmah29@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar